JAKARTA,TM.ID: Kementerian Agama (Kemenag) membuka seleksi Aktor Resolusi Konflik sebagai upaya memperkuat sistem peringatan dini konfkik agama.
Kemenag tengah bersiap mengimplementasikan sistem peringatan dini konflik sosial berdimensi keagamaan pada tahun 2024. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menambah aktor resolusi konflik keagamaan.
Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik, Kemenag, Dedi Slamet Riyadi menjelaskan program tersebut dalam kegiatan Sapa ARK (Aktor Resolusi Konflik) dan Pegiat Resolusi Konflik (Kanwil Kemenag Provinsi, Kemenag Kab/Kota, KUA Kecamatan), pada Jumat (26/1/2024).
dalam kegiatan yang digelar secara daring itu, ikut bergabung pula para Penyuluh Agama Islam dari berbagai daerah di Indonesia.
“Di 2024 ini, kami akan fokus pada upaya implementasi sistem peringatan dini konflik sosial berdimensi keagamaan, sehingga sistem itu akan berjalan dan bekerja dengan baik,” ujar Dedi, dalam keterangannya, dikutip Senin (28/1).
Dedi menjelaskan, Kemenag RI telah memiliki regulasi berupa Keputusan Menteri Agama No. 332 dan Kepdirjen Bimas Islam No. 1583 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan Islam.
Untuk itu, dalam penerapan kedua regulasi tersebut butuh langkah-langkah operatif, sehingga benar-benar dapat memberi maslahat kepada masyarakat.
Pada tahun 2024 ini, jumlah peserta seleksi Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) akan ditingkatkan. Pada tahun sebelumnya jumlah peserta total hanya satu kelas, tetapi memasuki 2024 ini menjadi 3 kelas.
BACA JUGA: Kemenag Luncurkan Terjemahkan Al-Quran dalam 26 Bahasa Daerah Indonesia
Sehingga, akan ada tambahan 150 orang Aktor Resolusi Konflik. Saat ini, sudah ada 100 Aktor Resolusi Konflik dari dua angkatan sebelumnya.
Sasaran pelaksanaan SPARK, jelas dia, adalah kalangan penghulu dan penyuluh yang disiapkan tidak hanya menjadi pelapor atau penginput data terkait potensi konflik keagamaan.
Namun juga, akan menjadi First Responders atau Penanggap Pertama ketika muncul indikator atau gejala sosial yang diduga dapat memicu konflik sosial keagamaan.
“Selain melaksanakan SPARK, pada 2024 juga akan digelar pelatihan Community Resilience. Pelatihan ini bertujuan untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap konflik keagamaan, bahkan konflik sosial lainnya,” terangnya.
Dedi berharap, melalui pelatihan ini, masyarakat di tingkatan akar rumput memiliki ketahanan dan kecakapan untuk mengelola dan menangani potensi konflik yang terjadi. Masyarakat umum bisa memiliki kepekaan dan kemampuan untuk merumuskan langkah-langkah penanganan konflik.
Pihaknya akan melatih perwakilan masyarakat, baik dari kalangan agamawan, pemerintah desa, karang taruna, dan organisasi masyarakat sehingga mereka memiliki kepekaan dan bisa merumuskan sendiri langkah-langkah solusi yang bisa dilaksanakan.
“Ini pelatihan yang menyasar masyarakat dari tingkatan yang paing bawah,” jelas Dedi.
(Aak)