BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang menjabarkan alasan membangun swadaya tanggul laut ±30 kilometer. Langkah tersebut sebagai mitigasi bahaya Megathrust dan Tsunami serta meminimalisir abrasi.
Koordinator JRP, Sandi Martapraja mengatakan tanggul laut adalah struktur fisik yang memiliki fungsi penting. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.
“Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah diwilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman Tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan Tsunami,” ucapnya.
Dengan kondisi tanggul laut yang baik, sambung Sandi, maka area disekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan. Hal ini memberikan peluang ekonomi baru, meningkatkan produksi perikanan dan membantu kesejahteraan masyarakat setempat.
Holid, nelayan JRP menambahkan tujuan tanggul laut untuk memudahkan menangkap ikan, maupun budidaya kerang hijau serta memecah ombak. “Alhamdulillah jadi penghasilan tambahan para nelayan,” kata Holid.
BACA JUGA: Geger, Tetiba Pagar Laut Misterius Terbentang 30,16 Km di Tangerang, Siapa yang Punya?
Nelayan Lontar, Kecamatan Kemiri itu memaparkan, pembangunan tanggul hasil swadaya nelayan ini sebagai langkah alternatif pencarian nafkah. “Pembangunan pagar laut dan tambak apung dirasa tidak mengganggu aktivitas nelayan,” ujarnya.
Berbeda dengan Eko nelayan Desa Ketapang, Kecamatan Mauk, Tangerang yang mengaku diancam setelah protes pembangunan pagar laut itu. Ia menyebut kejadian itu bermula sekitar lima bulan lalu.
“Kala itu, nelayan di Desa Ketapang, Kecamatan Mauk mengirim beberapa kapal untuk mengunjungi kapal yang sedang memasang pagar. Mereka meminta para pekerja menyetop pembangunan pagar,” kata Eko.
Namun, lanjutnya, permintaan untuk menghentikan pembangunan tak pernah digubris. Para pekerja itu tetap melanjutkan pembangunan pagar di laut hingga puluhan kilometer.
“Beberapa waktu kemudian, ada segerombolan orang tak dikenal datang. Kita demo malah dibilang provokator, dibilang ada catatannya di Koramil, Polsek, catatan perorangan ada ini nih yang provokator,” ucapnya menirukan pihak yang mengancam.
Dia mengeluhkan pendapatannya menurun karena pagar laut tersebut. Biasanya, ia bisa mengantongi Rp150 ribu per hari dari berburu cumi-cumi. Setelah pagar misterius terbangun, ia cuma mampu membawa pulang Rp50 ribu hingga Rp70 ribu.
BACA JUGA: KKP Segel dan Beri Batas Waktu Pembongkaran Pagar Laut di Tangerang
“Rp100 ribu aja susah sekarang bukan hanya saya tapi 500 nelayan lainnya. Solar biasanya sehari habis seliter, sekarang bisa dua liter,” kata Eko.
Selain soal penurunan pendapatan, nelayan juga mengkhawatirkan faktor keselamatan. Pasalnya, mereka harus melintasi celah-celah sempit pagar untuk mencapai lokasi ikan.
“Kalau ombak, bingung kita. Kalau malam gimana itu? Risiko besar buat kita itu. Kalau siang sih enak kelihatan, kalau malam bagaimana? Kalau kena badan kapal, bisa bocor, bahaya,” ujarnya.
(Usk)