BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah hiruk pikuk modernitas, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menyimpan sebuah permata budaya yang memikat yaitu Kampung Naga. Perkampungan tradisional ini menjadi bukti kuatnya kearifan lokal dan tradisi leluhur yang secara turun temurun.
Kampung Naga, yang namanya tak terkait dengan hewan mitos naga, berasal dari istilah Sunda “nagawir” yang berarti tebing terjal. Lokasinya yang berada di hulu Sungai Ciwulan dan diapit perbukitan dengan kemiringan 45 derajat, menjadikan kampung ini terisolasi dan terjaga dari pengaruh luar.
Masyarakat Kampung Naga memegang teguh adat istiadat budaya Sunda dan menolak intervensi yang mengancam kelestarian kampung mereka. Kampung ini pun kerap menjadi objek penelitian antropologi untuk memahami kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia.
Geografis dan Ciri Khas
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus berjalan kaki sekitar 500 meter dari tempat parkir. Jalan menuju kampung berupa susunan tangga yang cukup curam.
Arsitektur rumah di Kampung Naga memiliki ciri khas yang unik. Tata letak dan desainnya mengikuti aturan adat dan tradisi.
Asal Usul Misterius
Asal usul Kampung Naga masih menjadi misteri. Tidak ada catatan pasti mengenai kapan dan siapa yang mendirikan kampung ini. Warga Kampung Naga menyebut sejarah kampung mereka dengan istilah “Pareumeun Obor”, yang berarti “Matinya Penerangan”.
Istilah ini merujuk pada peristiwa kebakaran yang melanda Kampung Naga pada tahun 1956, ketika Organisasi DI/TII Kartosoewiryo membakar kampung tersebut. Arsip dan catatan sejarah Kampung Naga pun ikut hangus dalam peristiwa tersebut.
Kepercayaan dan Tradisi
Meskipun seluruh warga Kampung Naga beragama Islam, kepercayaan terhadap makhluk halus masih dipegang teguh. Mereka percaya pada “Jurig Cai” (makhluk halus di sungai), “Ririwa” (makhluk halus yang mengganggu manusia di malam hari), dan “Kunti Anak” (makhluk halus berupa perempuan hamil yang meninggal dunia).
Masyarakat Kampung Naga juga memiliki tradisi unik, seperti “Hajat Sasih” yang bersamaan dengan Hari Raya Haji. Upacara ini sebagai pengganti ibadah haji ke Tanah Suci.
BACA JUGA : Kesenian Buhun yang Ada di Kampung Adat Cireundeu
Pamali dan Palintangan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kampung Naga sangat memperhatikan pamali atau pantangan. Aturan tidak tertulis ini mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari membangun rumah, letak dan arah rumah, pakaian upacara, hingga kesenian.
Mereka juga memiliki kepercayaan tentang “Palintangan”, yaitu waktu-waktu tertentu yang buruk untuk melakukan kegiatan penting, seperti membangun rumah, pernikahan, khitanan, dan upacara adat.
Kampung Naga menjadi bukti nyata bahwa tradisi dan kearifan lokal masih dapat bertahan di tengah arus modernisasi. Keberadaannya menjadi inspirasi bagi kita untuk menjaga dan melestarikan budaya leluhur.
(Hafidah Rismayanti/Budis)