BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kota Kediri, Jawa Timur adalah kota tertua ketiga di Indonesia, menyimpan segudang misteri dan mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.
Kota yang sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan menguasai nusantara ini disebut sebagai kota sakral karena memiliki banyak peninggalan artefak, hingga cerita mitos dan misteri yang berkaitan erat dengan Kerajaan Kediri.
Berikut adalah beberapa mitos Kota Kediri yang masih banyak dipercaya:
1. Piramida Terpendam di Gunung Klotok
Gunung Klotok, salah satu gunung di Kota Kediri, menyimpan kisah misteri karena memiliki bentuk seperti piramida. Konon katanya, di balik gunung tersebut ada sebuah peninggalan pra sejarah berupa piramida yang menyerupai candi. Hingga saat ini masih belum diketahui kebenarannya, namun secara kasat mata, Gunung Klotok memang memiliki bentuk yang mirip seperti piramida.
2. Larangan Menikah dengan Warga Lamongan
Mitos lain yang masih dipercaya oleh warga adalah larangan pernikahan antara warga Kediri dengan warga Lamongan. Kepercayaan ini berawal dari kisah dua putri kembar dari adipati Kediri yaitu Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi yang memohon untuk dinikahkan dengan putra kembar bupati Lamongan.
Namun, pernikahan gagal dan berakhir dengan peperangan antar kerajaan Kediri dan Lamongan. Bupati Lamongan meninggal dunia dalam peperangan itu, dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia memberi pesan sekaligus kutukan bahwa anak cucunya tidak boleh menikah dengan warga Kediri.
3. Ramalan Jaya Baya
Orang Jawa memiliki satu ramalan yang paling dipercaya hingga saat ini, yaitu ramalan Jaya Baya di Kitab Musarar yang ditulis oleh Raja Kerajaan Kediri, yaitu Jaya Baya. Kitab yang berisi tulisan itu disebut berisi beberapa ramalan yang mungkin akan terjadi di masa depan.
Salah satu ramalan yang telah terbukti adalah “Tanah Jawa Berkalung Besi” yang ditafsirkan dengan keberadaan rel kereta api yang mengelilingi tanah Jawa. Ramalan yang terbukti selanjutnya adalah “kejajahan sakumur jagung karo wong cebol,” perkiraan ini diyakini terbukti karena Indonesia terjajah oleh Jepang.
4. Buaya Putih Sungai Brantas
Sungai Brantas, yang sudah ada sejak zaman Empu Sendok, disebut sering meminta tumbal atau korban manusia sejak masa Mataram Kuno. Mitos ini semakin diperkuat dengan banyaknya kabar dimana orang tiba-tiba menghilang di Sungai Brantas.
Bukan karena tenggelam, mereka meyakini buaya putih menjadi penyebab hilangnya orang-orang di sungai.
5. Kutukan Khusus Kepala Negara
Mitos terakhir adalah kutukan kehilangan jabatan yang hanya berlaku untuk kepala negara yang berkunjung ke Kota Kediri. Literatur yang dipercaya memuat kutukan tersebut adalah Babad Khadiri, sebuah manuskrip kuno karangan Mas Ngabei Purbawidjaja yang menceritakan tentang kejayaan Kerajaan Kediri.
Sedangkan versi Zaman Kerajaan Kalingga dimulai saat Kartikea Singha, suami Ratu Shima membuat buku Darma Sastra yang berisi 119 pasal hukum pidana pertama di nusantara.
Saat menyusun kitab, Kartikea Singha memberikan kutukan yang berbunyi, “Siapa kepala negara (yg memiliki jabatan tinggi) yang tidak suci benar masuk wilayah kota Kediri maka dia akan jatuh.”
Kutukan itu ditafsirkan bahwa posisi kekuasaan tertinggi (presiden) akan segera lengser jika berani singgah ke Kediri. Hingga saat ini, kutukan ini masih dipercaya masyarakat.
BACA JUGA : Misteri Gunung Slamet, Segudang Mitos dari Puncak Tertinggi Jawa Tengah
Sebab Presiden Soekarno, BJ Habibie, dan Abdul Rahman Wahid atau Gus Dur langsung lengser setelah datang ke Kota Kediri.
BJ Habibie tidak lanjut karena masa tugasnya sudah habis dan tidak ikut Pemilu 1999. Sedangkan Soeharto yang menjabat selama 32 tahun, baru pertama kali menginjakkan kaki di Kediri, langsung lengser pada 1998.
Namun, mitos itu dipatahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil mengunjungi Kediri dua kali pada 2007 dan 2014 lalu.
Mitos-mitos tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan sejarah Kota Kediri. Meskipun kebenarannya masih menjadi misteri, cerita-cerita ini tetap hidup dan diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Kediri.
(Hafidah Rismayanti/Usk)