BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Upacara Ngaruwat Bumi telah menjadi tradisi yang berusia ratusan tahun namun kesakralannya masih terasa kuat hingga saat ini.
Ngaruwat bumi merupakan ungkapan syukur atas hasil yang diperoleh dari bumi, serta sebagai bentuk pengharapan untuk tahun mendatang dan penghormatan kepada leluhur.
Dalam bahasa Sunda, “ruwat” berarti mengumpulkan dan merawat, yang melambangkan pengumpulan masyarakat dan hasil bumi.
Ruwatan bumi, yang juga terkenal sebagai hajat bumi, merupakan bagian dari rangkaian upacara tradisional.
Beberapa upacara sebelumnya yang terkait dengan ruwatan bumi antara lain hajat solok, Mapag Cai, mitembiyan, netepkeun, nganyarkeun, hajat wawar, ngabangsar, dan kariaan, yang mayoritas terkait dengan proses pertanian, khususnya budidaya padi.
Dalam tradisi ruwatan bumi, padi memiliki tempat istimewa karena diyakini berasal dari aktivitas dewi-dewi dan memiliki sifat sakral.
Tradisi ruwatan bumi dilaksanakan biasanya sesuai dengan daerahnya. Namun bisa dalam dua hari pelaksanaan dengan berbagai kegiatan antara lain:
- Dadahut, persiapan dari mulai musyawarah, penggalangan dana, pembuatan aneka makanan, membuat pintu heek, hingga membuat sawen.
- Ngadiukeun, sesepuh adat berdoa di goah untuk meminta izin kepada Tuhan dan leluhur agar upacara berjalan lancar.
- Meuncit Munding, pengumuman maksud dan tujuan upacara kepada masyarakat.
- Ngalawar, penyimpanan sesajen di setiap sudut kampung oleh sesepuh adat.
- Sholawatan, memanjatkan doa dan pujian kepada Tuhan di masjid.
- Seni Buhun Gemyung, seni persembahan kepada leluhur pada malam hari.
BACA JUGA : Makna Upacara Ngaruwat dalam Seni Pertunjukan Wayang
Hari kedua, merupakan hari terakhir pelaksanaan upacara Ngaruwat Bumi. Beberapa ritual yang dilakukan antara lain numbal, ngarak Dewi Sri, nyawer Dewi Sri, Ijab Rasul, dan pagelaran wayang golek.
Tradisi Ngaruwat Bumi merupakan warisan budaya yang sarat dengan makna kearifan lokal dan spiritualitas.
(Hafidah Rismayanti/Budis)