BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengamatan sistem kebumian yang sistematis menghadapi perubahan iklim.
Dwikorita menambahkan, suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya yang berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi.
Berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global telah meningkat dengan cepat, dengan rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius pada tahun 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era Revolusi Industri.
Padahal di tahun 2020 lalu, menurut laporan WMO tentang keadaan iklim global, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat celcius. Hal ini berarti hanya dalam beberapa tahun, ada peningkatan suhu permukaan yang signifikan.
“Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas, dan informasi inihanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian yang sistematis, informasi yang diberikan bisa menyesatkan atau salah. Pengamatan kebumian yang sistematis ini diperlukan baik di tingkat nasional, regional, maupun global,” ungkap Dwikorita melalui sambungan online dalam Ocean and Climate Change Dialogue 2024 yang diselenggarakan oleh United Nation Framework Convention on Climate Change di Bonn, Jerman, Selasa (13/6/2024).
Dwikorita mengatakan, pengataman sistematis sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Diantaranya, untuk memberikan data dukung dalam aksi adaptasi iklim, aksi mitigasi iklim, atau keputusan atau kebijakan apa pun terkait mitigasi dan adaptasi iklim.
Menurutnya, pengamatan sistematis tersebut, lanjut dia, harus juga diikuti oleh tindakan yang sistematis di segala lini agar dampak panas ekstrem tersebut dan dampak perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif.
Dicontohkan Dwikorita, informasi mengenai fenomena El Nino yang menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis yang didukung juga oleh pemantauan satelit.
Selain itu, prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang juga merupakan hasil dari pengamatan kebumian yang sistematis secara global, nasional, dan lokal. Singkatnya, tambah dia, pengamatan sistematis tersebut, memungkinkan seluruh negara di dunia untuk melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut.
“Analisis masa lalu merupakan cara untuk memvalidasi dampak dari peningkatan suhu yang berlangsung dan kondisi Bumi kekinian. Selanjutnya, pada analisisi lebih lanjut yang didasarkan pada data pengamatan sistematis dapat diketahui bahwa ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air. Nah, hal ini dapat ditangkap dan dianalisis lagi berdasarkan pengamatan sistematis,” paparnya.
Dwikorita menegaskan, peningkatan suhu global tidak dapat dianggap sepele.
BACA JUGA: BMKG: Peralihan Musim Penyebab Suhu Udara Panas di Indonesia
“Tidak hanya berdampak pada suhu bumi yang makin panas, kondisi tersebut juga meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, risiko kesehatan, penurunan kualitas hidup, hingga ancaman kelangsungan hidup spesies di bumi,” ungkapnya.
Situasi tersebut, lanjut Dwikorita, pada akhirnya tentu akan menganggu stabilitas perekonomian dan politik dunia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyampaikan bahwa Indonesia meningkatkan jaringan pengamatan kebumian baik di laut maupun darat. Hal tersebut juga diiringi dengan peningkatan kapasitas pemrosesan data dan peningkatan penyebaran informasi kepada publik dan sektorpengguna.
“Salah satu fokus pengamatan kami (Indonesia-red) terhadap dampak perubahan iklim adalah laut. Hal ini karena kunci dari perubahan iklim adalah laut, yang juga berinteraksi dengan atmosfer. Ini adalah upaya kami untuk memperkuat kapasitas prakiraan, prediksi ataupun proyeksi. Jadi ketika kita berbicara tentang dampak perubahan iklim, kita tidak bisa mengabaikan integrasi pengamatan laut dan atmosfer, mulai dari pemrosesan data, analisis, prediksi, dan proyeksinya, hingga penyebarluasan hasil analisis/ informasi utk berbagai kepentingan layanan, ” paparnya.
Dwikorita berharap The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menjadikan pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian sebagai dasar negosiasi dan pengambilan kebijakan, guna mendukung negara-negara di dunia untuk mengambil tindakan sistematis untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini karena kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan pengamatan sistematis fenomena kebumian bisa menjadi sesuatu yang salah atau menyesatkan.
(Usk)