BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Kepolisian Daerah Riau menetapkan 29 orang sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menghanguskan lebih dari 1.000 hektar lahan di berbagai wilayah Riau selama dua pekan terakhir. Para tersangka ditangkap di lokasi-lokasi berbeda, mulai dari Pelalawan, Rokan Hilir, hingga Indragiri Hilir, yang saat ini menjadi zona merah kebakaran lahan.
Kapolda Riau, Irjen Pol Mohammad Iqbal dalam konferensi pers pada Selasa (22/7) menyatakan bahwa sebagian besar tersangka merupakan warga lokal. “Mereka mengaku membakar lahan untuk membuka kebun sawit. Mereka tidak punya alat berat, jadi mereka pakai cara lama: api,” ujarnya kepada wartawan di Mapolda Riau.
Menurut Iqbal, dari hasil pemeriksaan awal, tidak satu pun dari 29 tersangka yang memiliki surat kepemilikan lahan resmi. Ia juga menegaskan bahwa penyidikan belum berhenti. “Kami masih mendalami siapa yang menyuruh dan siapa yang diuntungkan. Kami tidak akan berhenti pada pelaku lapangan saja,” katanya.
Sementara itu, pantauan satelit LAPAN dan citra drone dari tim KLHK mengonfirmasi bahwa lahan yang terbakar sebagian besar berada di atas kawasan gambut, beberapa di antaranya masuk ke dalam konsesi perusahaan perkebunan. Namun, hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka.
Aktivis lingkungan dari WALHI Riau, Nur Hidayah, menyebut bahwa kasus ini kembali memperlihatkan pola lama yang berulang setiap tahun. “Yang ditangkap selalu petani atau buruh. Tapi siapa yang punya lahannya, siapa yang suruh bakar, itu selalu hilang jejaknya,” katanya saat ditemui di sela aksi solidaritas anti-karhutla di Pekanbaru.
Nur juga mendesak pemerintah membuka data konsesi perusahaan secara transparan, agar publik bisa mengetahui siapa sebenarnya pemilik dan pengendali lahan yang terbakar. Ia menambahkan, “Kalau benar lahan itu milik perusahaan, lalu kenapa yang diseret ke pengadilan cuma rakyat kecil?”
Kebakaran lahan yang meluas dalam waktu singkat ini juga berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Ribuan warga terserang ISPA, termasuk anak-anak dan lansia. Di Kota Dumai dan sebagian wilayah Siak, kualitas udara telah mencapai level berbahaya, dengan indeks polusi udara (AQI) melampaui angka 300.
Dinas Pendidikan Provinsi Riau terpaksa meliburkan 354 sekolah di enam kabupaten terdampak. Seorang guru di Kabupaten Pelalawan yang enggan disebutkan namanya mengatakan, “Anak-anak batuk, mata merah, dan beberapa sudah sesak napas. Kami tidak berani memaksa mereka tetap belajar di sekolah.”
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan kerugian ekonomi akibat kebakaran ini mencapai lebih dari Rp87 miliar, mencakup kerusakan lahan produktif, biaya pemadaman, dan kerugian kesehatan masyarakat.
Pihak KLHK menyatakan akan terus berkoordinasi dengan penegak hukum untuk menelusuri keterlibatan korporasi dalam peristiwa ini. Dalam siaran persnya, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menegaskan, “Kami tidak segan-segan menindak korporasi jika ditemukan bukti keterlibatan. Lingkungan tidak boleh terus menjadi korban.”
Meski begitu, sebagian publik pesimistis. Dalam percakapan di warung kopi hingga media sosial, masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menindak pelaku utama kebakaran. “Selama ini, kalau bukan rakyat kecil yang jadi korban, ya perkaranya pelan-pelan menguap. Dalangnya selalu lolos,” kata Rahmad, warga Pekanbaru yang terkena dampak asap hampir setiap tahun.
Kebakaran lahan seluas 1.000 hektar ini bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga krisis keadilan. Saat tersangka demi tersangka ditangkap, pertanyaan paling mendasar justru belum dijawab: siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari pembakaran ini?
Dan jika pertanyaan itu tidak pernah dijawab, maka setiap musim kemarau hanya akan jadi babak baru dari siklus tahunan yang membakar udara, hak hidup, dan masa depan Riau.
Penulis:
Hilda Badriyah