BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Film 1 Kaka 7 Keponakan karya Yandy Laurens menyajikan kisah keluarga yang tak biasa dalam balutan drama komedi penuh kehangatan. Mengusung genre drama keluarga dengan sentuhan komedi, film ini menjadi pengingat tentang makna tanggung jawab dan kasih sayang di tengah kekacauan hidup yang datang tiba-tiba. Didasarkan pada sinetron legendaris tahun 1996 karya Arswendo Atmowiloto, film ini berhasil menghadirkan kembali pesan-pesan universal tentang keluarga kepada generasi baru penonton Indonesia.
Cerita berfokus pada Hendarmoko, atau akrab disapa Moko (diperankan oleh Chicco Kurniawan), seorang mahasiswa arsitektur yang tengah berada di ambang kelulusan. Hidupnya berjalan teratur dengan mimpi besar menjadi arsitek sukses, hingga suatu hari kabar duka datang: kakaknya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan tujuh orang anak.
Tiba-tiba, Moko harus menjadi wali tunggal dan orang tua pengganti bagi para keponakannya. Ketujuh anak ini bukan sekadar angka, tapi individu dengan karakter, kebutuhan, dan masalah masing-masing yang tak pernah terbayangkan oleh Moko sebelumnya. Dalam situasi yang serba tak terduga, Moko terpaksa menunda dan bahkan perlahan mengubur mimpinya demi memikul tanggung jawab baru sebagai kepala keluarga.
Tema utama film ini adalah bagaimana makna keluarga tidak selalu datang dari hubungan darah semata, tetapi dari kedekatan emosional, kesediaan berkorban, dan ketulusan untuk saling menjaga.
Moko bukan ayah, bukan juga paman biasa—ia menjadi sosok pengganti orang tua yang mendadak. Film ini juga menyoroti fenomena “generasi sandwich”, di mana seseorang harus menopang hidup generasi di atas dan di bawahnya sekaligus, sering kali dengan mengorbankan impian dan kebebasannya sendiri.
Di tengah semua tekanan dan rasa kehilangan, film ini tetap menyisipkan humor segar yang muncul dari dinamika rumah tangga sehari-hari: perdebatan antar saudara, kesalahpahaman konyol, hingga kekacauan kecil yang membuat penonton tertawa sekaligus merasa akrab.
Para pemeran berhasil membangun chemistry yang kuat, membuat dinamika antar karakter terasa nyata dan menyentuh. Chicco Kurniawan tampil meyakinkan sebagai Moko, menampilkan sisi emosional seorang kakak yang lelah, bingung, tapi berusaha tegar.
Deretan keponakan seperti Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT48), dan Ais (Kawai Labiba) memberikan warna dan emosi yang beragam, dari yang menggemaskan hingga yang menguras air mata. Beberapa adegan seperti saat Moko diam-diam menangis di kamar mandi karena kelelahan, atau saat mereka makan malam bersama untuk pertama kalinya tanpa orang tua, menjadi momen-momen yang akan tinggal lama di benak penonton.
Lebih dari sekadar film keluarga, 1 Kaka 7 Keponakan adalah refleksi akan realita banyak orang bahwa hidup tidak selalu memberi waktu untuk bersiap, tetapi cinta dan tanggung jawab mampu membuat kita bertahan. Film ini mengajarkan bahwa menjadi dewasa bukanlah soal usia, melainkan keberanian untuk menerima peran yang tak pernah kita minta, dan keteguhan hati untuk tetap mencintai meski harus berkorban. Penonton diajak untuk merenung mengenai berapa banyak dari kita yang rela menunda mimpi demi orang-orang yang kita sayangi? Moko adalah simbol dari keberanian itu berjuang tanpa pamrih, dalam kekacauan yang penuh cinta.
Film ini juga memberi ruang bagi penonton untuk memaknai ulang impian dan realitas hidup. Moko tidak sepenuhnya menyerah pada cita-citanya, melainkan menempatkannya dalam konteks baru bahwa mimpi pun bisa berevolusi. Dalam diam, ia tetap menggambar, mencoret-coret sketsa arsitektur, dan membayangkan bentuk rumah yang nyaman bagi ketujuh keponakannya. Detail ini mengingatkan kita bahwa impian yang ditunda bukan berarti hilang, melainkan berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih bermakna, yakni membangun keluarga, bukan sekadar bangunan.
Penulis:
Moch Manaf Fauzi/Universitas Indonesia Membangun