BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan kenaikan tarif royalti untuk bijih nikel menjadi 14 hingga 19 persen. Kenaikan ini akan berlaku mulai pekan kedua April 2025, sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, menyampaikan bahwa kenaikan royalti ini bersifat progresif menyesuaikan fluktuasi harga komoditas di pasar global. Untuk bijih nikel, tarif yang sebelumnya sebesar 10 persen akan naik menjadi tarif progresif yang berkisar antara 14 hingga 19 persen.
“Tarif royalti itu bersifat progresif. Artinya, ketika harga naik, royaltinya juga naik,” ujar Tri dalam konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, seperti dikutip dari Tempo Senin (14/4/2025).
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan kenaikan tarif royalti untuk sejumlah komoditas mineral termasuk nikel, emas, hingga batu bara. Ia memastikan bahwa regulasi terkait sudah selesai dan akan mulai diberlakukan efektif bulan ini.
“PP (Peraturan Pemerintah)-nya sudah diselesaikan dan dalam waktu dekat sudah berlaku efektif. Bulan ini sudah berlaku, kemungkinan minggu kedua sudah efektif,” ujar Bahlil seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan terkait penerapan skema royalti baru ini yang nantinya akan menggunakan sistem range yang bergantung pada harga komoditas mineral di pasar global.
Respon Industri Nikel
Rencana kenaikan royalti ini mendapat kritikan dari pelaku industri, terutama dari Forum Industri Nikel Indonesia (FINI). Ketua Umum FINI, Alexander Barus, menilai kebijakan ini datang di waktu yang kurang tepat, mengingat harga nikel global justru sedang menurun akibat ketegangan geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
BACA JUGA:
Nikel Menguat, Emiten ini Catat Kenaikan Laba Bersih Hingga 1.389 Persen!
Bahlil Bantah Tudingan AS Mengenai Industri Nikel RI Lakukan Kerja Paksa
Menurut Alexander, pelaku industri juga tengah menghadapi berbagai tekanan domestik seperti kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), kebijakan mandatori biodiesel B40, kewajiban retensi devisa hasil ekspor (DHE), hingga rencana penerapan global minimum tax pada 2025.
“Penyesuaian kebijakan fiskal seperti kenaikan royalti seharusnya mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang sedang mengalami penurunan harga, agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlanjutan hilirisasi nikel nasional,” kata Alexander melalui keterangan resmi seperti dikutip dari Investor.id, Jumat (11/4/2025).
Ia pun mendesak pemerintah agar lebih berhati-hati dalam meninjau kebijakan fiskal, untuk melindungi pelaku industri serta memastikan pembangunan industri nikel nasional tetap tercapai.
(Raidi/Budis)