BANDUNG,TM.ID: Pakar ekologi dan spesialis mamalia satwa liar ITB (Institut Teknologi Bandung) memberi penjelasan mengenai gaya hidup monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang semi cosmopolis.
Warga Bandung, Jawa Barat, tengah dihebokan dengan fenomena “serbuan” sekelompok monyet ekor panjang ke permukiman warga. Pergerakan ‘geng’ monyet liar itu berpindah-pindah dari titik satu ke titik lain.
Kemunculannya berawal di kawasan Dago, sebelah utara Kota Bandung sekitar akhir Februari 2024 lalu. Mereka dilaporkan terus bergerak ke wilayah Bandung Tengah, di antaranya daerah Kiaracondong.
Kemudian pada Rabu (6/3) warga komplek Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, menemukan mereka sedang berkeliaran di perumahan ini.
Tak lama kemudian, warga komplek perumahan Abdi Negara yang berada di titik perbatasan wilayah Kecamatan Culeunyi dan Rancaekek, juga melaporkan kehadiran mereka dengan jumlah yang sama, yakni lima ekor.
Mereka berpindah-pindah dengan lincah dari atap rumah satu ke atap rumah lainnya. Banyak warga, terutama wanita dan anak-anak tak berani keluar rumah karena ketakutan.
Kemungkinan monyet-monyet ekor panjang tersebut akan terus bergerak sampai menemukan tempat yang cocok dengan pasokan makanan yang cukup menurut mereka.
BACA JUGA: Monyet Turun Gunung di Bandung, Ini 3 Penyakit Berbahaya Akibat Serangannya
Gaya Hidup Monyet Ekor Panjang
Mengutip artikel di laman resmi ITB, ahli ekologi dan spesialis mamalia satwa liar, Agung Ganthar Kusumanto, yang merupakan alumnus Program Studi Biologi ITB, menjelaskan mengenai fenomena tersebut.
Agung mengatakan, monyet ekor panjang merupakan hewan semi cosmopolis yang dapat belajar dengan baik. Mereka cenderung memiliki keberanian untuk turun ke daerah manusia yang sering memberikan mereka makanan, seperti pada tempat wisata, perbatasan hutan, dan daerah dengan pengelolaan sampah organik yang kurang baik.
Namun, jika berada di habitat aslinya, kawanan monyet ini cenderung jarang mendekati manusia. Habitat dari primata ini sebenarnya berada di sekitar riparian atau tepian sungai, bukan di hutan dalam.
Faktor Cuaca, Habitat Terganggu
Banyak masyarakat yang berspekulasi bahwa monyet ekor panjang turun ke daerah perkotaan karena dugaan bencana yang akan terjadi. Terkait hal ini, Agung Ganthar Kusumanto pun memberi penjelasan.
“Kalau dibilang turun karena di atas ada bencana, saya dan tim sedang berada di habitatnya dan satu-satunya permasalahan adalah cuaca. Hewan lain seperti lutung dan macan masih ada di sana,” ungkap Agung.
Agung menilai, kemungkinan monyet-monyet itu turun ke permukiman karena faktor cuaca yang mempengaruhi tempat mereka tinggal di riparian sungai dengan intensitas hujan seperti sekarang. Sedangkan kawasan riparian sungai dengan kondisi hutan yang kurang bagus jadi banjir.
Dengan demikian habitat mereka terganggu karena kondisi hutannya sebagian sudah ada yang gundul, sehingga air dari intensitas curah hujan yang tinggi ini tidak tertahan sebaik itu. Terlebih, sungai-sungai yang menjadi habitat monyet ekor panjang ikut meluap.
Dijelaskan, habitat merupakan hal yang terutama bagi monyet ekor panjang. Hewan tersebut memiliki gaya makan seperti manusia, apa yang dimakan oleh manusia, itu juga yang mereka makan.
Sedangkan hutan yang sudah semakin berkurang, wilayah riparian sungai yang banyak di bangun tempat wisata dan perkebunan, menjadi suatu masalah baru bagi habitat monyet ekor panjang.
Perebutan Wilayah
Perebutan wilayah oleh manusia menyebabkan monyet ekor panjang terpaksa pergi ke tempat lainnya, yaitu pemukiman warga dan daerah perkotaan. Sebab, ketika banyak hewan lain selain monyet, yang habitatnya rusak, cenderung kalah atau mati.
Namun berbeda dengan monyet ekor panjang yang semi cosmopolis, memungkinkan mereka memiliki alternatif lain untuk menyelamatkan diri dengan cara menghindar ke permukiman manusia.
Hewan-hewan itu cepat sekali belajar dan memperhatikan bahwa manusia tidak sebegitu menakutkannya secara langsung.
“Bahkan manusia juga takut pada mereka,” kata Agung.
(Aak)