JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Presiden Prabowo kemarin (Jumat, 29/11) mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen. Kenaikan tersebut diambil dan diumumkan tanpa adanya penjelasan lebih rinci tentang proses perhitungannya sehingga didapat angka 6,5 persen.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, pengumuman yang disampaikan Presiden Prabowo tersebut tentunya masih menyimpan banyak pertanyaan, apa landas yuridis yang dipakai Pak Presiden untuk menentukan kenaikan angka 6,5 persen. Paska putusan MK no. 168 tahun 2023, Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menjanjikan terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai pengganti PP no. 51 Tahun 2023 sebagai landas yuridis penetapan kenaikan upah minimum 2025. Namun hingga hari ini pun belum ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.
“Lalu apakah angka 6,5 persen tersebut adalah angka rata-rata kenaikan upah minimum, apakah itu angka minimal, atau angka yang berlaku untuk seluruh propinsi sehingga seluruh gubernur akan menetapkan kenaikan Upah minimum sebesar 6,5 persen, tentunya ini pun masih belum jelas,” kata Timboel kepada Teropomedia.id, Senin (2/12/2024).
Timboel menjelaskan jika mengacu pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2023, penetapan upah minimum itu kewenangan Gubernur, bukan Presiden, dan penggunaan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam menghitung kenaikan upah minimum adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi propinsi.
Dengan kepastian adanya perbedaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap propinsi maka kenaikan upah minimum setiap propinsi pasti berbeda.
“Saya menduga kenaikan 6,5 persen bila masih mengacu pada rumus kenaikan upah minimum di PP no. 51 Tahun 2023, dengan asumsi nilai inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen maka nilai alfa (indeks) yang dipakai adalah 0,7 sehingga perthitungannya menjadi 3 persen + (5 persen x 0,7) = 6,5 persen,” ujarnya.
Apakah nilai alfa 0,7 akan menjadi acuan bagi seluruh Dewan Pengupahan Daerah untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum ke Gubernur, tentunya ini juga yang akan kita tunggu penjelasan dari Menteri Ketenagakerjaan.
Timboel menegaskan, pemerintah berjanji merujuk Putusan MK no. 168 dalam penetapan upah minimum, yang salah satu poin putusannya adalah tentang penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, yang dapat diintepretasikan pada komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang saat ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketengakerjaan no. 18 Tahun 2020, yaitu sebanyak 64 komponen KHL.
*Oleh karenanya, seharusnya nilai inflasi propinsi yang digunakan adalah nilai inflasi untuk 64 komponen KHL tersebut, yang sebaiknya diukur berdasarkan survey pasar seperti yang dilakukan pada era UU no. 13 Tahun 2003 dan sebelum lahirnya PP no. 78 Tahun 2015,” jelasnya.
Masalah kenaikan upah minimum tidak berhenti pada masalah angka persentase kenaikan, tetapi juga apa yang akan dilakukan Pemerintah setelah penetapan kenaikan upah minimum oleh Gubernur.
“Saya berharap pengumuman kenaikan upah minimum 2025 oleh Presiden Prabowo seharusnya dilanjutkan dengan kemauan dan komitmen Presiden untuk membenahi Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengawal pelaksanaan upah minimum paska ditetapkan Gubernur,” bebernya.
“Bahwa upah minimum yang seharusnya diberikan hanya untuk pekerja dengan masa kerja di bawah setahun, pada faktanya banyak diberikan kepada pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun. Demikian juga, masih banyak pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku,” sebutnya.
Untuk meningkatkan kualitas kerja Pengawas Ketenagakerjaan, penting untuk digagas lahirnya Komisi Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan pengawas eksternal yang mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan.
Demikian juga diharapkan komitmen Presiden untuk memastikan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mampu mengendalikan inflasi sehingga kenaikan upah minimum 2025 masih lebih tinggi dari inflasi yang terjadi. Bila kenaikan upah minimum 2025 di bawah tingkat inflasi yang terjadi maka upah riil buruh akan menurun, yang berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan buruh.
Adanya kenaikan PPN menjadi 12 persen (naik sebesar 9 persen), adanya pembatasan BBM khususnya penggunaan pertalite dan solar, persoalan geopolitik internasional yang belum stabil, merupakan kondisi yang berpotensi mendukung peningkatan inflasi lebih tinggi di tahun 2025. Saya berharap kenaikan PPN menjadi 12 persen dan pembatasan BBM ditangguhkan dahulu, sampai kondisi ekonomi mulai membaik dan stabil.
Tentunya kenaikan upah minimum yang ditetapkan Gubernur akan menjadi pro-kontra bagi pekerja dan pengusaha, yang biasanya setiap tahun akan berlanjut pada gugat menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Saya berharap Pemerintah dapat membenahi system pengupahan nasional kita agar isu kenaikan upah minimum tidak menjadi masalah tahunan yang terus terjadi,” pungkasnya.
BACA JUGA: Pemerintah Putuskan UMP 2025 Naik 6,5 Persen
Bila nanti ada penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang menyebabkan terganggunya cash flow Perusahaan, maka Pemerintah dapat mengintervensi dengan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada Perusahaan yang memang benar-benar tidak mampu memberikan kenaikan 6,5 persen (melalui proses audit oleh Pemerintah). Misalnya hanya mampu menaikan 4 persen maka 2,5 persennya ditanggung Pemerintah.
Demikian juga bila inflasi lebih tinggi dari kenaikan upah minimum maka Pemerintah pun dapat memberikan subsidi harga bagi pekerja dengan upah minimum untuk membeli kebutuhan pokoknya.
“Ke depan memang penting untuk membenahi system pengupahan kita, dengan pelibatan Pemerintah Pusat dan Daerah. Semoga Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit Nasional bisa merumuskannya dengan baik,” bebernya.
(Agus irawan/Usk)