BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Musim kemarau 2025 telah dimulai sejak April di wilayah Indonesia, dengan puncak diperkirakan terjadi bulan Agustus. Namun, di beberapa daerah, curah hujan masih tercatat tinggi meskipun secara kalender telah memasuki musim kemarau.
Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah. Kondisi ini menjadikan musim kemarau tidak sepenuhnya kering dan memberikan dampak besar terhadap sektor pertanian, pengelolaan sumber daya air, serta perencanaan infrastruktur.
Fenomena ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah, petani, dan instansi terkait. Ketidakpastian pola hujan membuat banyak pihak harus menyesuaikan strategi agar dapat beradaptasi dengan kondisi iklim yang tidak menentu.
Pengertian
Kemarau basah adalah kondisi saat musim kemarau tetap disertai hujan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi. Melansir penjelasan Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng pada 5 September 2014, fenomena ini terjadi akibat tingginya curah hujan pada periode yang secara iklim sudah ditetapkan sebagai musim kering.
Biasanya, musim kemarau ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm per dasarian (10 hari). Namun dalam kondisi kemarau basah, nilai ini dapat terlampaui secara signifikan dan terus-menerus, sehingga musim kemarau tidak menunjukkan kekeringan seperti biasanya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menetapkan awal musim kemarau berdasarkan curah hujan yang kurang dari 50 mm dalam satu dasarian dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Ketidaksesuaian pola ini mengindikasikan adanya anomali iklim.
Kemarau basah juga kerap berkaitan dengan anomali suhu permukaan laut, yang berdampak pada dinamika atmosfer, pembentukan awan, serta pergeseran zona konveksi hujan ke wilayah Indonesia.
Penyebab
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kemarau basah di antaranya:
- Suhu permukaan laut yang lebih hangat dari normal, terutama di perairan sekitar Indonesia, yang meningkatkan penguapan dan memperbanyak pembentukan awan hujan.
- Lemahnya aliran massa udara dari Australia, yang biasanya menghambat pembentukan awan di wilayah Indonesia saat kemarau. Ketika angin ini melemah, hujan lebih mudah terjadi.
- Pengaruh La Niña, yaitu fenomena iklim yang memicu peningkatan curah hujan di wilayah tropis termasuk Indonesia, terutama jika pergeseran pusat konveksi awan mengarah ke barat dan tengah Nusantara.
Ketiga faktor tersebut menyebabkan distribusi curah hujan tidak sesuai dengan pola musiman normal.
Dampak
Fenomena ini memberikan dampak kompleks, baik positif maupun negatif. Dari sisi ketersediaan air, kondisi ini bisa menguntungkan untuk sektor perairan dan irigasi. Namun, bagi sektor pertanian, kemarau basah justru kerap menimbulkan masalah serius.
Petani yang menanam komoditas kering seperti jagung, kacang-kacangan, atau kedelai sering mengalami gagal panen akibat lahan yang terlalu lembap atau tergenang air banjir. Tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang berkembang subur dalam kondisi lembap.
Selain itu, kalender musim tanam berbasis iklim tahunan menjadi sulit diterapkan. Ketika realitas curah hujan di lapangan tidak sesuai dengan prediksi iklim musiman, petani kesulitan menentukan waktu tanam yang tepat.
Baca Juga:
Masa Peralihan, Warga Bandung Diminta Waspada Cuaca Ekstrem Singkat
Situasi ini menuntut pembaruan dalam sistem informasi cuaca dan strategi tanam yang lebih fleksibel dan responsif.
Kemarau basah merupakan anomali iklim yang semakin sering terjadi seiring dengan dinamika perubahan iklim global. Kondisi ini menantang pola pikir lama tentang musim kering dan menuntut adaptasi dari berbagai sektor, khususnya pertanian.
(Kaje)