JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Rencana pemerintah menetapkan batas luas minimum rumah subsidi 18 meter persegi dinilai berdampak buruk bagi psikologis penghuninya.
Hal itu diungkap pengamat tata kota Yayat Supriatna. Ia mengingatkan pentingnya mempertimbangkan aspek psikologis dan sosial, bukan semata-mata pendekatan ekonomi.
“Kalau mau buat rumah 18 atau 24 meter, pendekatannya jangan hanya ekonomi. Harus dipikirkan juga psikologi dan bagaimana ruang membentuk perilaku manusia,” ujarnya, melansir BeritaSatu, Selasa (17/6/2025).
Yayat menjelaskan, ruang hidup layak minimal per orang adalah 9 meter persegi. Maka, jika satu keluarga terdiri dari tiga hingga empat orang, luas ideal rumah subsidi seharusnya 27-36 meter persegi, bukan 18 meter persegi.
Rencana perubahan ini tertuang dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, yang tak hanya mengatur luas bangunan, tetapi juga mengurangi luas tanah dari 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi.
Ia pun menilai kebijakan ini jauh dari memenuhi standar kebutuhan ruang manusia.
Baca Juga:
Ukuran Rumah Subsidi Diperkecil, Bisa Dibangun Bertingkat?
Review Rumah Subsidi dari Pemerintah, Perekam Nyeletuk Bikin Netizen Ngakak
Kemudian, Yayat membandingkan dengan kebijakan perumahan di China yang berhasil menjalankan konsep rumah minimalis karena didukung aturan pembatasan satu anak.
“Di China bisa dilakukan karena jumlah anggota keluarga dibatasi. Di Indonesia belum ada kebijakan kependudukan yang mendukung itu. Jadi penerapan rumah sempit akan sangat berat,” jelas Yayat.
Lebih jauh, Yayat menekankan rumah bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk tumbuh, mendidik, dan membentuk masa depan anak-anak. Apabila ruang terlalu sempit, maka dampak psikologis dan sosial bisa menjadi serius, mulai dari stres, keterbatasan ruang belajar, hingga konflik keluarga.
“Ruang itu bagian dari kehidupan. Jangan sampai kita hanya membangun rumah, tetapi melupakan kualitas hidup penghuninya,” kata dia.
(Dist)