BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Data BPS 2023 mencatat, bidang ini menyerap 39,45 juta pekerja atau 28,22% dari total angkatan kerja.
Serta menjadi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah industri pengolahan. Namun, di balik peran strategis itu, perempuan dan anak muda terutama di pedesaan masih menghadapi hambatan berlapis untuk mengakses sumber daya dan peluang di dunia pertanian.
Isu ini menjadi sorotan dalam Diseminasi Hasil Penelitian “Orang Muda, Perempuan, dan Masa Depan Pertanian Indonesia” yang digelar AKATIGA bersama Komisi X DPR RI dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Diskusi ini membedah persoalan struktural dan kultural yang menahan laju regenerasi petani, serta menawarkan rekomendasi kebijakan inklusif.
Baca Juga:
Petani Garut Sumrigah, Dapat Bantuan Rp6 Juta per Hektare untuk yang Rugi karena Puso
Berdasarkan penelitian AKATIGA dan BRIN mengungkap perempuan muda petani berada di persimpangan kerentanan yakni gender, kelas sosial, dan generasi.
Perempuan petani kerap terjebak di sektor informal, tanpa akses modal, teknologi, maupun pelatihan. Hanya 17% perempuan dewasa di sektor pertanian memiliki hak kepemilikan lahan yang aman, jauh di bawah laki-laki (52,92%).
Bagi perempuan muda, hambatan makin berat. Di daerah beradat patrilineal seperti Flores, tanah umumnya diwariskan ke laki-laki. Akibatnya, mereka jarang dilibatkan dalam penyuluhan, perencanaan program, atau kepengurusan kelompok tani.
“Proses menjadi petani itu perjalanan panjang, dipengaruhi migrasi, pendidikan, gender, dan kelas. Regenerasi petani bukan sekadar kemauan, tapi soal akses dan politik pengakuan,” tegas peneliti AKATIGA, Aprilia Ambarwati, Sabtu (9/8/2025).
BRIN mencatat, petani muda (usia 19–39 tahun) hanya 21,93% dari total petani di Indonesia. Mayoritas menggarap lahan di bawah 0,5 hektare dengan status informal.
Meski pendidikan perempuan muda meningkat signifikan dalam tiga dekade terakhir, ketimpangan di sektor pertanian masih belum banyak berubah.
“Orang muda perempuan pedesaan adalah kelompok paling terpinggirkan. Generasi baru petani muda yang ada sekarang masih prematur,” jelas peneliti BRIN, Gutomo Bayu Aji.
Sedangkan, Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, menekankan pentingnya regulasi afirmatif untuk mendorong regenerasi petani sekaligus menjamin kesetaraan gender.
“Ke depan, kita perlu memikirkan aturan yang memastikan orang muda bisa mengakses sumber daya pertanian,” ujar Hetifah.
Rekomendasi yang diusulkan yakni:
• Pemanfaatan tanah kas desa atau lahan pemerintah yang menganggur untuk pertanian mikro
• Pendidikan pertanian yang ramah bagi perempuan muda
• Penguatan kelembagaan pertanian kolektif
• Dukungan inovasi seperti Community Supported Agriculture (CSA)
Diskusi di Bandung ini dihadiri petani muda, pejabat dinas, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil. Mereka sepakat tanpa perubahan struktural, sektor pertanian akan kesulitan menarik generasi baru petani, dan kesenjangan gender serta generasi akan terus berlanjut. (Kyy/_Usk)