BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Adopsi mobil listrik (EV) pada beberapa negara di Benua Eropa mengalami perlambatan yang signifikan, yang mempengaruhi pasar otomotif secara global.
Meskipun kendaraan listrik diprediksi akan menjadi bagian penting dari industri otomotif di masa depan, tantangan saat ini menunjukkan adanya ketidakpastian yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen dan adopsi teknologi ini di beberapa negara Benua Biru tersebut.
Memuat Carscoops, Tingkat suku bunga yang tinggi dapat mempengaruhi keputusan pembelian kendaraan listrik. Biaya pinjaman yang lebih mahal membuat pembelian mobil listrik menjadi kurang terjangkau bagi banyak konsumen.
BACA JUGA: Mobil Listrik China dan Dampaknya terhadap Industri Otomotif Indonesia
Hal ini berdampak langsung pada permintaan dan penjualan kendaraan listrik, terutama di pasar-pasar utama seperti Jerman dan Swedia.
Infrastruktur pengisian daya yang belum berkembang mempengaruhi kenyamanan dan kepercayaan konsumen dalam menggunakan mobil listrik.
Keterbatasan stasiun pengisian daya dan waktu pengisian yang lama membuat konsumen merasa ragu untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
Ketidakpastian ekonomi global juga berdampak pada adopsi mobil listrik. Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, konsumen cenderung menunda pembelian barang-barang besar, termasuk mobil listrik.
Selain itu, harga mobil listrik yang masih relatif tinggi dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil menjadi faktor penghambat.
Harga mobil listrik yang masih tinggi menjadi salah satu penghalang utama. Meskipun ada insentif pemerintah untuk kendaraan listrik, biaya awal yang tinggi masih menjadi faktor utama yang membatasi adopsi.
Keterjangkauan mobil listrik harus ditingkatkan agar lebih banyak konsumen yang dapat mengakses teknologi ini.
Negara-negara seperti Jerman, Swedia, dan Swiss mengalami penurunan signifikan dalam penjualan kendaraan listrik. Di Jerman, penjualan mobil listrik turun sebesar 37 persen pada Juli 2024 dibandingkan bulan sebelumnya.
Swedia mencatat penurunan sebesar 15 persen, sementara di Swiss penjualan turun sebesar 19 persen. Penurunan ini menunjukkan bahwa meskipun mobil listrik memiliki potensi besar, tantangan saat ini menghambat pertumbuhannya.
“Peningkatan e-mobility sejauh ini terbukti tidak berkelanjutan. Pasar telah kehilangan momentum dan banyak pelanggan meragukan prospek mobil listrik,” ujar konsultan Ernst & Young (EY), Constantin Gall.
Pemerintah dan industri otomotif telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi karbon dioksida melalui peningkatan penggunaan kendaraan listrik.
Perlambatan adopsi dapat menyebabkan keterlambatan dalam pencapaian target-target ini, yang berdampak pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Perlambatan dalam adopsi mobil listrik juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam investasi infrastruktur pengisian daya. Tanpa adanya permintaan yang cukup, investasi dalam pengembangan infrastruktur ini mungkin tidak mendapatkan prioritas, yang berpotensi memperlambat adopsi lebih lanjut.
Berbeda dengan Eropa dan Amerika Serikat, justru Tiongkok menunjukkan pertumbuhan stabil dalam penjualan mobil listrik.
Laporan dari EY Mobility Lens Forecaster mengindikasikan, bahwa kendaraan listrik berbahan bakar baterai (BEV) diperkirakan akan menyumbang lebih dari 50% dari seluruh penjualan pada tahun 2030 di China.
Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok kuat dalam hal segi infrastruktur, insentif, dan kebijakan yang mendukung adopsi kendaraan listrik. Negara tirai bambu ini memiliki regulasi dan insentif yang mendukung pertumbuhan kendaraan listrik.
Pemerintah Tiongkok memberikan berbagai insentif untuk pembelian kendaraan listrik, serta menginvestasikan secara besar-besaran dalam pengembangan infrastruktur pengisian daya. Arti kata lain, menciptakan lingkungan yang mendukung adopsi kendaraan listrik secara lebih luas.
(Saepul/Aak)