JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID –Di tengah kontroversi menjelang pemberlakuan aturan mengenai kenainkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 2025 mendatang, pemerintah sejatinya bisa memberikan ruang diskresi. Simak pengertian diskresi yang akan dijelaskan di akhir artikel ini.
Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengatakan pemerintah bisa memberikan ruang diskresi PPN pada batas bawah di level 5 persen dan batas atas 15 persen bila dipandang perlu. Menurutnya, diskresi dapat diberlakukan demi mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional.
Selanjutnya Said Abdullah mengatakan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat dari Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku sejak tahun 2021. Kenaikan PPN sesungguhnya bukan peristiwa yang datang seketika.
“Sebelum 1 April Tahun 2022 tarif PPN berlaku 10 persen. Setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 berlaku, maka diatur pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan selanjutnya 1 Januari 2025 tarif PPN menjadi 12 persen. Dengan demikian terjadi kenaikan bertahap,” kata Said seperti dilansir Antara, Selasa (24/12/2024).
Sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI, menurut dia, pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan asumsi tambahan penerimaan perpajakan dari pemberlakuan PPN 12 ke dalam target pendapatan negara pada APBN 2025. Adapun APBN 2025 telah di undangkan melalui Undang-Undang Nomor 62 tahun 2024.
“Undang-Undang ini disepakati oleh seluruh Fraksi di DPR, dan hanya Fraksi PKS DPR RI yang memberikan persetujuan dengan catatan. Dengan demikian pemberlakuan PPN 12 persen berkekuatan hukum,” kata dia.
Dalam pembahasan APBN 2025, dia mengatakan, pemerintah dan DPR juga menyepakati target pendapatan negara dengan asumsi pemberlakuan PPN 12 persen untuk mendukung berbagai program strategis Presiden Prabowo Subianto untuk merealisasikan program-program strategis.
Di antaranya program makan bergizi gratis yang membutuhkan dana sekitar Rp71 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis Rp3,2 triliun, pembangunan rumah sakit lengkap di daerah Rp1,8 triliun, pemeriksaan penyakit menular (TBC) Rp8 triliun, renovasi sekolah Rp20 triliun, sekolah unggulan terintegrasi Rp2 triliun, dan lumbung pangan nasional, daerah dan desa Rp15 triliun.
“Saya juga sudah menyampaikan ke publik agar pemerintah melakukan mitigasi resiko atas dampak kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, khususnya terhadap rumah tangga miskin, dan kelas menengah,” kata dia.
BACA JUGA: Dewan Pers: Pemda Boleh Lakukan Diskresi Apabila Media Terverifikasi Terlalu Banyak
Pengertian Diskresi
Mengutip laman pnlembata.go.id, Hermanus Suban Huller SH, Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Lembata menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Keputusan atau tindakan pejabat berupa diskresi ini tidak serta merta bisa dilaksanakan, karena pelaksanaan diskresi harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.
Pasal 22 tersebut di atas mencerminkan pentingnya penggunaan diskresi, karena pada pelaksanaannya tidak semua peraturan dapat menjangkau secara komprehensif tugas, wewenang dan tanggungjawab pejabat khususnya teknis pelaksanaan sehingga perlu adanya tindakan subyektif pejabat dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya.
Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23 alasan kenapa diskresi diberikan, meliputi karena ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan, peraturan perundang-undangan tidak mengatur, peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Parameter penggunaan diskresi ini lebih konkrit bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama menyangkut pilihan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini seorang pejabat dihadapi dengan dua pilihan tindakan, dari dua alternatif tersebut pejabat diberikan keleluasan untuk memilih salah satu sehingga pilihan itulah yang disebut
dengan diskresi.
Kedua, peraturan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dalam arti bahwa sebuah aturan terkait teknis pelaksanaan tugasnya belum ada, belum lengkap atau multitafsir sehingga seorang pejabat harus mengeluarkan diskresi agar tidak terjadi
stagnasi dalam pelaksanaan tugas.
Ketiga, adanya stagnasi pemerintahan, hal ini dapat diartikan sebagai keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Dalam hal terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum.
Hal ini banyak dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan, bahkan seorang presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang sebagai respon menghadapi keadaan urgensi.
(Aak)