BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Gaya ceplas ceplos Presiden Prabowo mengungkit perhelatan pilkada serentak perdana 27 November 2024, pada puncak perayaan HUT Golkar ke 60 tanggal 12 Desember 2024 lalu, menguak sederet decak kagum namun juga keraguan di benak penulis.
Pilkada langsung yang sudah secara bertahap berlangsung hampir dua dekade sepertinya akan berakhir tragis. Seperti tanpa gelegar petir tiba-tiba saja Ketum Golkar mengutarakan keinginan untuk mengevaluasi jalannya demokrasi di negeri ini. Dan itu langsung ditanggapi Presiden secara gamblang bahwa pilkada langsung mesti dievaluasi karena pertimbangan pemborosan 38 trilyun untuk pesta demokrasi ‘rakyat’.
Padahal, demokrasi itu memang mahal, tak ternilai harganya untuk menyalurkan aspirasi rakyatnya. Lalu, pilkada akan dikembalikan ke tangan oligarki di DPRD 1 dan DPRD 2. Dan kalau mau lebih ‘murah’ lagi, Presiden dan Wakil Presiden dipilih kembali oleh DPR/ MPR seperti sebelum Reformasi yang menelan biaya hampir 100 trilyun.
Sekedar membandingkan saja, apakah kita bilang mahal dan pemborosan bagi pembangunan IKN yang ratusan trilyun persis dunia dilanda virus Corona? Belum tentu dicap sebagai pemborosan karena faktanya Jakarta sudah penuh sesak gedung pencakar langit dan terindikasi akan tenggelam karena rob yang terus menggerus bibir pantai bagian utara Jakarta.
Jokowi memang sudah memulainya dan ada rencana 17 Agustus 2028 nanti Presiden Prabowo berkantor di IKN. Meskipun anggarannya masih sangat diirit di berbagai sektor pembangunan apapun. Saya menduga Presiden Prabowo pun deg degan soal investasi untuk IKN.
Ini baru awal keberatan dan kesangsian penulis.
Pesta Rakyat menjadi Pesta Oligarki
Di bagian berikut ini, cocok dengan judul diatas. Sebagian kecil pemilih dalam pilkada 27 November 2024 adalah mereka yang sudah pernah menjadi pemilih wakil rakyat, anggota DPRD1 yang memilih Gubernur dan DPRD 2 yang memilih Bupati.
Bagaimana perasaannya membandingkan mana yang lebih baik, itu hak mereka. Yang pasti, saat itu rakyat hanya menonton proses pemilihan kepala daerahnya meskipun berkedok melalui wakilnya,namun tentu tidak sama sensasinya jika kita sendiri yang ke bilik suara memilih kepala daerah kita. Bekas tinta di jari saat keluar dari bilik suara hanya terjadi satu kali dalam 5 tahun. Tentu masyarakat menjadi subyek pesta demokrasi lima tahunan ini.
Kita bukanlah penikmat demokrasi yang melankolis tetapi kritis memaknai arti pesta demokrasi bagi rakyat kecil yang di moment itu bisa merasakan bahwa sumbu api kebebasannya dapat langsung disalurkannya, bukan lewat wakilnya yang kadang susah dipercaya karena sudah dikrangkeng rasa oligarkis.
BACA JUGA: Wacana Kepala Daerah Dipilih oleh DPRD, Begini Kata KPU
Coba tengok terminologi minus malum yang lebih sedikit buruknya dari yang buruk]. Mana yang lebih buruk, ‘membeli’ suara rakyat dalam pilkada langsung atau wakil rakyat dalam pilkada tidak langsung alias DPRD 1 dan DPRD2. Bisa dibayangkan, bagaimana paslon cagub cawagub, cabup cawabup, cawalkot cawalkot akan ‘dipreteli dan digembos’ dompetnya oleh oknum yang mengatasnamakan parpol dalam kontestasi pilkada langsung.
Bisa saja parpol menerapkan politik dagang sapi berkedok wakil rakyat.
Kedengaran lumayan keras narasi ini, namun hal seperti ini sudah terjadi di beberapa pilkada selama ini, baik tidak langsung dan langsung. Ini perlu kontemplasi khusuk bagi para penyuara kembali ke pilkada tidak langsung.
Jika benar terjadi ke pilkada tidak langsung, romantisme bagi rakyat dalam pesta demokrasi hancur berantakan. Tinggal ada rasa sakit hati sebagai obyek demokrasi. Lalu, yang berbusung dada dan gaya parlente saat pemilihan Gubernur dan Bupati , Walikota ya para oligarki parpol yang berbaur dengan konglomerat yang siap menggelontorkan duit seberapapun yang diinginkan para legislator untuk memenangkan paslonnya.
Saya pikir, kita mesti cari jalan keluarnya.
Digital electronic Voting
Kita akan mengalami kemunduran dan bahkan ditertawai negara lain jika kita masih menggelar pilkada atau pemilu presiden dengan cara konvensional yang tentu beresiko pemborosan, seperti kata Presiden Prabowo. Lebih baik dialihkan untuk mendirikan sekolah, panti asuhan, jembatan rusak dan seterusnya, dari hampir 100 trilyun untuk Pilpres wapres dan pileg, serta 38 trilyunan untuk pilkada langsung serentak.
Penggunaan digitalisasi dalam pilkada mesti mulai dicoba pada level yang lebih kecil seperti organisasi sebagai contoh dalam pemilihan pengurusnya. Atau bahkan cobalah parpol memilih Ketum dan jajarannya secara electronic digital oleh seluruh kadernya, bukan saja dipilih oleh perwakilan DPD 1 dan 2 yang sangat rentan dengan praktek money politic.
Negara harus mencari jalan terbaik agar pilkada, pemilu sebagai pesta rakyat bukan oligarki. Jika mulai tahun 2025 mempersiapkan infrastruktur digital dalam rangka e voting 2029 nanti secara langsung oleh rakyat, penulis yakin bisa dijalankan. Memang selain itu ada sedikit perubahan UU Pilkada terkait e voting. KPU tak perlu lagi mencetak jutaan kertas suara, jutaan kotak suara, ongkir sampai ke pelosok yang menyedot anggaran triliunan itu.
BACA JUGA: Biaya Pilkada Mahal, Prabowo Lempar Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD
Tentu saja, pengadaan infrastruktur digital untuk e voting juga rentan korupsi. Namun tak harus berhenti hanya karena proyek BTS ,misalnya, yang mangkrak dan penuh tipu muslihat oleh orang- dekat yang malah menyeret mantan Menkominfo yang saat ini masih ‘sekolah’ di salah satu penjara. Itu salah satu contoh mangkraknya infrastruktur digital hanya karena tabiat oknum yang penuh dengan ketamakan memperkaya diri ,bukan mengabdi rakyat. Kita tak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Hanya keledai yang terjerembab di liang yang sama.
Di akhir uraian singkat ini, kita harapkan agar rakyat mesti menyalurkan suaranya langsung dengan memanfaatkan digitalisasi e voting yang bisa menekan biaya dan juga menghindari bahaya laten KKN di lingkaran oligarki dalam kontestasi pilkada, pilpres dan pileg 2029 nanti. (@).
Oleh: Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara, Alumnus Univ.Wien Oesterrecih, HS St Gabriel Moedling, Univ. Hamburg, Deutschland. Justin Djogo,MA.,MBA