SUBANG, TEROPONGMEDIA.ID — Tradisi ruwatan bumi di Subang, Jawa Barat, telah berlangsung selama berabad-abad, tetap mempertahankan nilai sakralnya sebagai warisan budaya masyarakat agraris.
Ritual ini merupakan wujud rasa syukur atas karunia alam sekaligus doa untuk masa depan dan penghormatan terhadap leluhur.
Istilah ‘ruwat’ dalam bahasa Sunda mengandung makna mengumpulkan dan merawat, yang dalam konteks ini berarti memelihara kesatuan masyarakat dan melestarikan hasil bumi.
Upacara yang juga dikenal sebagai hajat bumi ini menjadi puncak dari serangkaian ritual sebelumnya seperti hajat solok, Mapag Cai, mitembiyan, netepkeun, nganyarkeun, hajat wawar, ngabangsar, dan kariaan.
Sebagian besar ritual tersebut berkaitan erat dengan siklus pertanian, khususnya budidaya padi. Dalam tradisi ngaruwat bumi, padi menempati posisi khusus.
Bagi masyarakat setempat, padi atau beras bukan sekadar komoditas pangan, melainkan memiliki nilai spiritual yang tinggi karena diyakini berasal dari para dewi, sehingga seluruh proses penanamannya dianggap sebagai kegiatan suci.
BACA JUGA
Kesenian Sampyong Majalengka: Transformasi dari Permainan Ujungan
Fenomena Aneh Capung Situs Gunung Padang yang Tak Mau Hinggap di Teras Paling “Suci”
Tradisi Masyarakat yang Harus Dilestarikan
Mengutip Jurnal Pendidikan Universitas Pamulang, hasil penelitian Amelia Haryanti berjudul “Upacara Adat Ngaruwat Bumi sebagai Kajian Nilai Budaya Masyarakat Adat Banceuy dalam Melestarikan Lingkungan” menimpulkan bahwa masyarakat perlu menyadari betapa pentingnya peran kearifan lokal dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah gempuran modernisasi yang tak terelakkan.
Tradisi unik masyarakat dalam menjaga kelestarian alam yang harus dihargai dan dilestarikan. Meskipun gencarnya perkembangan zaman mengancam eksistensi komunitas adat beserta nilai-nilai tradisionalnya, tetapi semua pihak dituntut untuk bersikap bijaksana.
“Bijaksana di sini bukan berarti menolak modernisasi, tetapi tetap berpegang pada warisan nilai leluhur yang telah turun-temurun,” ungkap Amelia.
Terkait obyek penelitiannya, lanjut Amelis, filosofi hidup masyarakat Banceuy yang menekankan harmoni antara manusia dan alam tetap terjaga dalam keseharian mereka. Nilai-nilai luhur ini diwujudkan melalui pengelolaan lingkungan yang bijak dan dilestarikan lewat berbagai upacara adat yang rutin digelar.
“Yang patut dicatat, sambil mempertahankan tradisi, mereka juga terus berupaya meningkatkan taraf hidup tanpa meninggalkan akar budayanya. Ini menunjukkan bahwa modernisasi dan tradisi sebenarnya bisa berjalan beriringan jika dikelola dengan tepat,” tegasnya.
(Aak)