BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin sering dihadapkan pada isu orientasi seksual non-heteronormatif seperti homoseksualitas, biseksualitas, dan transgender.
Fenomena ini memicu perdebatan hangat di berbagai kalangan, baik dari sisi medis, sosial, maupun keagamaan. Dalam sebuah podcast Channel youtube SUARA BERKELAS, dokter Boyke seorang seksolog ternama di Indonesia mengungkapkan berbagai sudut pandang yang kerap tidak disuarakan secara terbuka.
Ia menyampaikan bahwa salah satu faktor utama munculnya ketertarikan sesama jenis adalah lingkungan.
“Lingkungan itu bisa menyumbang 75 sampai 80 persen pengaruh,” ujarnya.
Baca Juga:
Polis Ungkap Motif Aktor Peras Pasangan Gay
Polisi : Korban Mutilasi dalam Koper Merah adalah Pasangan Gay
Hal ini merujuk pada bagaimana seseorang bisa mengalami pergeseran orientasi seksual karena situasi sosial tertentu. Contohnya, seorang laki-laki yang tumbuh di lingkungan serba maskulin atau dalam hubungan pernikahan yang tidak harmonis, bisa berujung menjalin hubungan dengan sesama jenis karena merasa lebih nyaman secara emosional.
Fenomena ini menurutnya bukan semata-mata masalah moral, tapi juga psikososial.
“Saya banyak menemukan laki-laki yang awalnya tidak pernah berpikir menjadi gay, tapi setelah rumah tangganya hancur dan mereka menemukan kenyamanan dari sahabat laki-lakinya, akhirnya mereka beralih,” jelasnya.
Dokter Boyke juga menyentil pentingnya figur ayah dalam perkembangan anak laki-laki.
“Kalau dia terlalu dekat dengan ibunya, ibunya terlalu dominan, maka anak laki-laki bisa kehilangan figur ayah dan mencari sosok laki-laki lain di luar,” terangnya.
Dalam banyak kasus yang ia tangani, latar belakang keluarga yang tidak harmonis menjadi benang merah yang mengarah pada ketertarikan sesama jenis.
Tak hanya itu, Dokter Boyke juga menyoroti kasus perempuan yang menjadi lesbian setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau dikhianati oleh pasangan laki-lakinya.
“Saya punya banyak kasus bidan-bidan yang akhirnya menjadi lesbian karena suaminya selingkuh, bahkan ada yang berselingkuh dengan adik dari si bidan sendiri,” tuturnya.
Meski memahami aspek psikologisnya, Dokter Boyke tetap berpegang pada prinsip agamanya. Ia menyatakan tidak akan pernah menandatangani kesepakatan yang menyetujui LGBT.
“Agama saya melarang, dan itu bukan hanya dalam hadis, tapi juga dalam Al-Qur’an. Maka saya harus ikut,” tegasnya.
Perdebatan tentang apakah orientasi seksual bisa diubah atau tidak juga dibahas secara gamblang. Dalam sudut pandang psikologi seksualitas modern, orientasi seksual diilustrasikan sebagai spektrum, seperti yang dijelaskan dalam skala Kinsey.
Dalam skala ini, heteroseksual murni berada di angka 0, dan homoseksual muri di angka 6, dengan berbagai gradasi di antaranya.
“Orang bisa bergeser. Misalnya tadinya dia satu (heteroseksual dominan), tapi karena trauma, bisa geser ke tiga atau empat (biseksual atau homoseksual dominan),” ujar dokter Boyke.
Dokter Boyke menekankan bahwa perubahan orientasi seksual jika memang diinginkan, memerlukan usaha luar biasa.
“Itu bisa, tapi butuh effort yang sangat kuat. Harus putus dari teman-teman gay nya, harus coba pacaran dengan lawan jenis, lihat tayangan-tayangan yang membangun persepsi ideal akan pasangan lawan jenis,” jelasnya.
Dokter Boyke menambahkan bahwa di negara-negara seperti Belanda, Prancis, atau Selandia Baru, orientasi seksual non-hetero dianggap sah dan tidak perlu diubah. Tapi di Indonesia, stigma masih sangat kuat.
“Sebagian besar masyarakat kita masih menganggapnya sebagai penyimpangan,” katanya.
Dalam kehidupan pribadinya, Dokter Boyke memilih untuk membimbing anak-anaknya memahami seksualitas secara terbuka, namun tetap dalam batas nilai-nilai yang ia pegang.
“Saya mengizinkan anak-anak saya pacaran, asalkan tahu batasannya. Karena saya ingin keluarga mereka harmonis, bahkan sampai tua,” ucapnya.
Ia menekankan pentingnya “matching” secara seksual sejak masa pacaran agar tidak ada kekecewaan setelah menikah.
Kasus lain yang ia ceritakan adalah tentang perempuan yang terpaksa bercerai setelah mengetahui suaminya gay.
“Bayangkan, setelah pesta pernikahan besar-besaran, setahun tidak disentuh suaminya, masih perawan. Akhirnya ke saya dan saya bilang, cerai saja,” ungkapnya.
Ia menyayangkan banyaknya perempuan yang merasa malu untuk bercerai, padahal sudah sangat tersiksa secara batin.
Fenomena ini mengungkap kenyataan yang kompleks di balik orientasi seksual. Tidak sesederhana ‘pilihan’, namun juga dipengaruhi trauma, lingkungan, dan relasi interpersonal yang terbentuk sejak dini.
Sayangnya, banyak korban dari hubungan tidak sehat ini tidak mendapatkan edukasi maupun pendampingan yang layak.
Penulis:
Muhammad Amni Fii Imani
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Universitas Informatika Dan Bisnis Indonesia (UNIBI)