BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Di balik gegap gempita ekonomi Tiongkok, sebuah fenomena baru diam-diam tumbuh, generasi muda yang memilih bersembunyi, hidup dalam ritme lambat, dan menjauhi tuntutan dunia luar.
Mereka menyebut diri mereka ‘manusia tikus’, sebutan yang kini viral di kalangan milenial dan Gen Z yang menganggur.
Istilah ini bukan sekadar ejekan, melainkan gambaran atas gaya hidup baru, tidur sepanjang hari, berselancar internet, hidup dari makanan pesan antar, dan menghindari interaksi sosial.
Banyak yang mengaku kehilangan arah dan tujuan, memilih ‘bersembunyi’ di kamar seperti tikus di dalam selokan.
Fenomena ini adalah versi ekstrem dari gerakan ‘lying flat’, bentuk perlawanan terhadap budaya kerja ekstrem di Tiongkok, di mana jam kerja 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari seminggu (pola 996) menjadi norma.
Semua berawal dari sebuah video sederhana yang diunggah @jiawensishi, seorang perempuan muda dari Provinsi Zhejiang, pada akhir Februari lalu.
Dalam video itu, ia memperlihatkan hari-harinya yang penuh kemalasan, tiga jam bermalas-malasan di tempat tidur setelah bangun tidur, makan hanya setelah dibangunkan orang tua, membongkar belanjaan tengah malam, lalu mandi pukul 2 pagi.
“Aku seperti tikus,” katanya sambil tertawa, merujuk pada gaya hidupnya yang tertutup dan minim aktivitas.
Di balik kesan malas itu, ada makna yang lebih dalam. Sejak pandemi, budaya ‘lying flat’ menyebar di media sosial sebagai bentuk kritik terhadap sistem sosial yang menuntut produktivitas tanpa henti.
Kini, ‘manusia tikus’ menjadi simbol penolakan terhadap glamornya budaya kerja dan pencitraan diri di media sosial.
“Berbaring telentang berarti tetap melakukan hal-hal yang saya sukai, meski tidak sesuai jam kerja standar,” kata pendiri Digital Crew, Ophenia Liang.
Kondisi ekonomi yang makin sulit turut mendorong fenomena ini. Dengan tingkat pengangguran usia 16-24 tahun mencapai 16,5%, banyak anak muda Tiongkok yang kehilangan harapan akan masa depan.
Bagi sebagian dari mereka, bertahan hidup dengan tabungan orang tua lebih masuk akal dibandingkan mengejar karier di dunia kerja yang kejam.
“Ini pertama kalinya generasi muda menghadapi perlambatan ekonomi serius. Banyak yang mulai bertanya-tanya, ‘Untuk apa saya berusaha keras?’,” kata Liang.
Eric Fu, peneliti dari University of Melbourne, menilai fenomena ‘manusia tikus’ bukan sekadar bentuk keputusasaan, melainkan usaha untuk mendefinisikan ulang arti hidup dan kerja.
“Mereka tidak ingin sekadar menjadi roda dalam mesin. Mereka sedang mencari cara hidup yang lebih otentik,” ujarnya.
Dalam sunyi kamar mereka, para ‘manusia tikus’ sedang menyusun ulang mimpi-mimpi, menolak norma lama, dan membangun definisi baru tentang sukses. Mungkin, di balik kesan pasif itu, tersimpan keberanian untuk mengatakan, ‘Saya ingin hidup dengan cara saya sendiri.”
(Budis)