BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) resmi disahkan. Keputusan ini memicu gelombang kritik dari berbagai pihak, termasuk komika dan influencer ternama, Kemal Palevi.
Melalui media sosialnya, Kemal secara terang-terangan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap situasi politik di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Kemal menyoroti fenomena bagi-bagi jabatan yang semakin marak, termasuk penunjukan artis dan influencer sebagai staf khusus.
Selain itu, ia juga mengkritisi kelonggaran yang diberikan kepada militer, serta program-program kontroversial yang mulai berjalan.
Dalam unggahannya di platform X (Twitter) dan Instagram pada 20 Maret 2025, Kemal mengungkapkan lima poin utama yang menurutnya memperkeruh keadaan:
- Para artis dan influencer sudah menjadi staf khusus.
- Buzzer politik sudah mendapat “transfer” dukungan.
- Para menteri dari kabinet sebelumnya telah memperoleh jabatan strategis.
- Program MBG (Makan Bergizi Gratis) sudah mulai dijalankan.
- Militer kini mendapatkan lebih banyak keleluasaan.
“Gimana? Udah puaskah, zim? Kalau belum puas juga nggak ngerti lagi gue,” tulisnya dengan nada sarkas.
Kekhawatiran atas RUU Polri dan Kejaksaan
Tak hanya soal UU TNI, diskusi di media sosial semakin memanas setelah beredar kabar bahwa DPR RI juga tengah mempercepat pembahasan RUU Polri dan Kejaksaan. Netizen pun mulai menyuarakan kekhawatiran mereka terkait potensi lahirnya lembaga “superbody” dengan kewenangan yang luas namun minim pengawasan.
Salah satu akun, @/remotivi, mengingatkan masyarakat untuk bersiap menghadapi perubahan besar dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.
“Teman-teman, kencangkan ikat pinggang kalian. Kita akan memasuki babak kedua,” tulisnya, merujuk pada potensi implikasi dari revisi UU ini.
BACA JUGA:
Alasan Generasi Muda Harus Peduli?
Kemal Palevi tidak sendirian dalam menyuarakan kritiknya. Bersama komika dan aktivis politik Pandji Pragiwaksono, ia berupaya memberikan edukasi kepada generasi muda terkait sejarah politik Indonesia, terutama soal era Orde Baru.
Dalam sebuah podcast, mereka membahas bagaimana kekuasaan yang tidak terkontrol bisa berujung pada pembungkaman suara publik dan meningkatnya praktik korupsi.
Pandji menjelaskan bahwa Orde Baru dikenal sebagai masa yang “tenang namun mencekam.”
“Tenang itu sering kali terjadi karena mencekam,” ungkapnya dalamkanal YouTube bersama Kemal Palevi.
Ia menekankan bahwa saat itu, rakyat dijauhkan dari politik agar tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar pemerintahan.
“Tidak ada itu berita penangkapan menteri, gubernur karena korupsi. Bukan berarti nggak ada korupsi tapi nggak ketahuan. Pada zamannya, setiap ada yang akan menceritakan, hilang! Setiap ada yang berusaha memberitakan diberedel,” tambahnya.
Diskusi ini menyoroti pentingnya kebebasan berbicara dalam demokrasi. Para aktivis dan netizen khawatir bahwa revisi UU TNI dan RUU Polri yang tengah dipercepat dapat membawa Indonesia kembali ke masa di mana kebebasan berpendapat dikekang.
Generasi Z dalam Sasaran Politik?
Tak sedikit netizen yang akhirnya menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah saat ini banyak menyasar generasi muda, terutama Gen Z.
Dengan strategi komunikasi yang lebih modern, para pemangku kebijakan berupaya membentuk opini publik dan mengarahkan narasi politik ke arah tertentu.
Di era digital yang penuh keterbukaan ini, peran generasi muda dalam mengawal demokrasi sangatlah krusial. Dengan semakin banyaknya diskusi yang terjadi di media sosial, suara anak muda menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan arah bangsa.
Revisi UU TNI dan berbagai perubahan kebijakan lainnya menandai babak baru dalam politik Indonesia.
Pertanyaannya, apakah ini langkah maju atau justru kemunduran bagi demokrasi kita? Yang jelas, generasi muda kini berada di garis depan dalam menjaga kebebasan berpendapat dan transparansi pemerintahan.
(Hafidah Rismayanti/Usk)