JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat. SYL menjalani hukuman setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasinya dalam kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian.
Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/2025). Ia menyebut, eksekusi badan dilakukan pada 25 Maret 2025.
“Terpidana SYL telah kami eksekusi ke Lapas Sukamiskin sebagai tindak lanjut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Budi.
Vonis 12 Tahun Penjara dan Kewajiban Membayar Uang Pengganti
SYL dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 44,2 miliar dan US$ 30.000, dikurangi jumlah uang yang telah disita oleh negara. Jika tidak sanggup membayar, ia harus menjalani tambahan hukuman lima tahun penjara.
KPK memastikan proses pembayaran denda dan uang pengganti oleh SYL masih berlangsung secara bertahap.
“Kami masih menerima sebagian pembayaran dari pihak terpidana, baik dalam bentuk denda maupun uang pengganti,” ucap Budi.
Meskin demikian, KPK belum dapat menyita seluruh barang bukti dalam perkara tersebut karena sebagian masih dibutuhkan untuk pengusutan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga melibatkan SYL.
“Beberapa barang belum bisa dirampas karena masih berkaitan dengan penanganan perkara TPPU yang sedang berjalan,” tambahnya.
Baca Juga:
SYL dinyatakan bersalah karena memeras bawahannya di Kementerian Pertanian dalam periode 2020–2023. Ia tidak sendiri. Dalam perkara ini, ia didampingi oleh dua pejabat lainnya, yakni Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal Kementan dan Muhammad Hatta sebagai Direktur Alat dan Mesin Pertanian.
Keduanya disebut berperan sebagai koordinator dalam pengumpulan uang dari pejabat eselon I hingga staf lainnya. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan pribadi Syahrul dan keluarganya, termasuk pengeluaran operasional dan gaya hidup mewah.
Kasus ini bergulir dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, serta uang pengganti Rp 14,14 miliar dan US$ 30.000 dengan ancaman dua tahun tambahan penjara jika tidak dibayar.
Namun, vonis itu diperberat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta, serta uang pengganti Rp 44,2 miliar dan US$ 30.000 subsider lima tahun penjara. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Majelis kasasi yang terdiri dari Ketua Hakim Yohanes Priyana, serta dua anggota Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono, memutuskan untuk menolak permohonan kasasi Syahrul.
KPK memastikan pengusutan perkara TPPU yang diduga dilakukan oleh SYL akan terus dilanjutkan. Sejumlah barang bukti, seperti aset dan dokumen keuangan, masih dalam proses analisis dan belum dapat dimasukkan sebagai barang rampasan negara.
“Penanganan TPPU merupakan bagian penting untuk memulihkan kerugian negara dan menelusuri aliran dana hasil korupsi,” tegas Budi.
KPK berkomitmen menuntaskan seluruh proses hukum terhadap mantan pejabat publik yang terlibat dalam praktik pemerasan maupun pencucian uang.
(Dist)