Jokowi Bahas Manufaktur Indonesia Runtuh di Sidang Kabinet

Manufaktur indonesia
Presiden Joko Widodo saat pada Rapat Sidang Kabinet Perdana di IKN, Senin (12/8/2024). (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Bagikan

JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan aktivitas manufaktur Indonesia mengalami penurunan yang sangat mengkhawatirkan.

Hal itu ia ungkap dalam sidang kabinet perdana di Istana Garuda di di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara hari ini, Senin (12/8/2024).

Jokowi mengingatkan, bahwa PMI Purchasing Manager Index Indonesia mengalami kontraksi pada Juli 2024 setelah ada di fase ekspansif selama 34 bulan beruntun.

“Setelah ekspansif selama 34 bulan berturut-turut pada Juli kita masuk ke level kontraksi. Ini agar dilihat betul diwaspadai betul secara hati-hati karena beberapa negara di Asia PMI nya juga berada di angka di bawah 50,” kata Jokowi.

Ia meminta semua pihak untuk mencari penyebab kontraksi pada sektor manufaktur. Terlebih, ambruknya PMI juga disebabkan oleh kontraksi pada produksi, pesanan baru dan rekruitmen tenaga kerja.

“Saya ingin dicari betul penyebab utamanya dan segera diantisipasi karena penurunan PMI ini saya lihat sudah terjadi sejak empat bulan terakhir,” ujar Jokowi.

Presiden juga meminta agar melemahnya permintaan domestik yang membuat PMI terkontraksi dievaluasi.

“Betul-betul dilihat kenapa permintaan domestik melemah, bisa karena beban impor bahan baku yang tinggi karena fluktuasi rupiah atau adanya juga serangan produk-produk impor yang masuk ke dalam negara kita,” imbuhnya.

Seperti diketahui, data S&P Global aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi pada Juli 2024. Ini adalah kontraksi pertama sejak Agustus 2021 atau hampir tiga tahun terakhir.

PMI manufaktur Indonesia jatuh dan terkontraksi ke49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 menjadi 49,3 pada Juli 2024.

Puncaknya adalah konrtraksi pada Juli 2024 setelah PMI manufaktur Indonesia ada dalam fase ekspansif selama 34 bulan sebelumnya.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.

Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menjelaskan PMI mengalami kontraksi karena penurunan permintaan.

BACA JUGA: Jusuf Hamka Tegas Tinggalkan Dunia Politik

“Pesanan baru dan produksi turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Karena itu, para produsen bersikap hati-hati, dengan aktivitas pembelian sedikit dikurangi dan pekerjaan turun pada tingkat tercepat sejak September 2021,” tutur Paul, dikutip dari situs resminya.
S&P menjelaskan menurunnya permintaan disebabkan oleh lesunya pasar. Kondisi ini membuat penjualan turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. Ekspor menurun meskipun dalam skala yang lebih kecil. Adanya keterlambatan dalam pengiriman juga ikut menekan ekspor.

Kendala dari sisi pasokan juga membatasi perusahaan dalam meningkatkan output dan membuat keterlambatan pengiriman.Waktu tunggu rata-rata yang semakin panjang akibat tantangan pengiriman lewat jalur laut juga terus terjadi. Data survei terbaru menunjukkan bahwa waktu tunggu rata-rata kini lebih lama. Ini adalah kali pertama situasi tersebut terjadi dalam tiga bulan terakhir.

“Salah satu yang membuat waktu tunggu lebih lama dan pengiriman lebih panjang adalah karena situasi di Laut Merah” tulis S&P dalam laporannya.

Seperti diketahui, kondisi di Laut Merah dalam bahaya dan menegangkan karena serangan kelompok Houthi. Dia menambahkan adanya kendala dari sisi pasokan menambah kesulitan perusahaan.

Gelombang PHK Massal

Data S&P menunjukkan perusahaan memilih untuk mengurangi jumlah staf untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir.

“Produsen memilih untuk mengurangi aktivitas pembelian mereka pada Juli. Kondisi ini adalah yang pertama sejak Agustus 2021. Jumlah pekerja juga dipangkas dengan angka pengurangan yang terbesar dalam hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya,” ujar S&P.

Namun, perusahaan masih optimis ada kenaikan output ke depan. Inflasi input pada barang melandai tetapi biaya output meningkat.

(Dist)

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
daftar pekerja PPSU-1
Lebihi Batas Kuota, Pendaftar PPSU DKI Tembus 7.000 Orang!
Luncurkan Transjabodetabek, Pramono Ingin Masyarakat Gunakan Layanan Transportasi Umum
Luncurkan Transjabodetabek, Pramono Ingin Masyarakat Gunakan Layanan Transportasi Umum
Ditaksir Butuh Rp 400 T, Sri Mulyani Beberkan 3 Skenario Pendanaan Koperasi Desa
Ditaksir Butuh Rp 400 T, Sri Mulyani Beberkan 3 Skenario Pendanaan Koperasi Desa
CHERY HIMLA
Triton-Hilux Jangan Lari, Chery Punya Himla untuk Bentrok di Pasar Double Cabin!
ASN hilang di merbabu
ASN Temanggung yang Hilang di Merbabu Ditemukan Meninggal
Berita Lainnya

1

Bupati Cirebon Luncurkan Program 'DAKOCAN'

2

Daftar Pajak Isuzu Panther, Semua Tipe Lengkap!

3

Gedung BPJS Kesehatan Cempaka Putih Jakarta Pusat Kebakaran, 19 Unit Mobil Pemadam Dikerahkan

4

Daftar Pajak Kijang Diesel, Semua Tipe Lengkap!

5

Pemain yang Diincar dalam Tim Prabowo
Headline
Aleix Espargaro
Kembali ke Lintasan MotoGP Sebagai Wildcard Honda, Aleix Espargaro Mengaku Gugup
Gempa Bumi Guncang Cilacap Jateng
Gempa Bumi M 3,4 Guncang Cilacap Jateng
Prakiraan Cuaca Sejumlah Kota di Indonesia 18 April 2025
Prakiraan Cuaca Sejumlah Kota di Indonesia 25 April 2025
Inter
Kondisi Inter Memburuk, Jalan Barcelona Menuju Final Kian Terbuka

Dapatkan fitur lebih lengkap di aplikasi Teropong Media.