BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Jelang Idul Adha, masyarakat di sejumlah wilayah Jawa Tengah kembali menghidupkan tradisi turun-temurun yang dikenal sebagai Tradisi Apitan.
Kegiatan budaya ini bukan hanya sekadar seremoni tahunan, tapi juga menjadi simbol kebersamaan dan ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap anugerah hasil bumi yang melimpah.
Tradisi Apitan sendiri dilaksanakan setiap bulan Apit, sebuah istilah dalam Sistem Penanggalan Jawa yang merujuk pada waktu antara dua hari besar umat Islam, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan ini dikenal dengan nama Dzulqa’dah.
Tradisi yang Sudah Ratusan Tahun Mengakar
Pelaksanaan Tradisi Apitan bukanlah hal baru. Di berbagai daerah di Jawa Tengah, budaya ini telah berjalan selama ratusan tahun. Masyarakat setempat menjadikan momen ini sebagai bagian dari identitas budaya yang tak lekang oleh waktu.
Bahkan generasi muda pun diajak turut terlibat agar nilai-nilai luhur dalam tradisi tersebut tidak punah dimakan zaman.
Yang menarik, bentuk pelaksanaan Tradisi Apitan beragam. Namun satu yang paling dikenal luas adalah bentuk sedekah bumi, yaitu kegiatan syukuran dengan menyajikan hasil panen dan makanan secara bersama-sama. Warga bergotong royong menyiapkan sesaji yang nantinya akan diarak atau dipamerkan dalam acara ritual.
Makna tradisi Apitan yakni sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil bumi yang telah dinikmati.
Baca Juga:
Lirik Supernatural – Ariana Grande, Viral Gegara Tren Kim Seon Ho
Polda Metro Jaya Usut Grup Fantasi Sedarah yang Viral di Facebook!
Makna Mendalam di Balik Perayaan
Apitan bukan semata ritual, tapi memiliki makna spiritual dan sosial. Dalam konteks budaya Jawa, hasil bumi yang disajikan adalah simbol keharmonisan antara manusia dan alam.
Masyarakat percaya bahwa rasa syukur harus diungkapkan bukan hanya lewat doa, tapi juga melalui tindakan nyata yang melibatkan komunitas.
Acara ini juga mempererat hubungan antarwarga. Mulai dari anak-anak hingga lansia, semua terlibat dalam prosesinya.
Nilai-nilai gotong royong, saling membantu, serta menghormati alam dan leluhur menjadi bagian integral dari pelaksanaan Apitan.
Namun, di balik semangat pelestarian budaya tersebut, Tradisi Apitan juga menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas acara ini, khususnya ketika melihat hasil bumi yang tampaknya ‘dibuang-buang’ dalam prosesinya.
Namun, tradisi ini menuai pro dan kontra karena hasil bumi dibuang-buang.
Sebagian menganggap bahwa penyajian makanan dan hasil bumi dalam jumlah besar, yang kadang tak sepenuhnya dikonsumsi, bisa menjadi pemborosan.
Sementara yang lain membela, bahwa semua hasil panen dan makanan yang digunakan tetap akan dibagikan kepada warga usai prosesi selesai.
(Hafidah Rismayanti/Budis)