JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Peredaran batu bara China di Indonesia belakangan ini menjadi sorotan dunia di tengah perang Israel vs Iran yang memicu kenaikan harga batu bara.
Refinitiv mencatat, harga batu bara pada perdagangan Senin (16/6/2025) ditutup di US$ 109,5 per ton. Harga naik 0,5%. Kenaikan ini memperpanjang rally “pasir hitam” menjadi empat hari dengan kenaikan 3,5%.
Harga batu bara menguat karena masih dibantu dengan sentiment perang. Kondisi tidak kondusif dan kekhawatiran gangguan pasokan energi yang ditimbulkan perang Israel vs Iran memicu kenaikan harga energi sekaligus berdampak positif terhadap harga batu bara.
Harga batu bara juga menguat karena ada kenaikan impor dari India serta kebijakan China menambah pasokan batu bara di pembangkit mereka.
Melansir Reuters, China telah mengirimkan sedikitnya tiga kargo batubara kokas ke pengolah bahan baku di Sulawesi, Indonesia pada Mei 2025.
Ini adalah langkah yang jarang terjadi karena China biasanya adalah pengimpor utama, bukan pengekspor, bahan bakar pembuat baja ini.
Seperti diketahui, batu bara kokas merupakan salah satu bahan bakar utama dalam industri baja. Hal ini berbeda dengan batu bara thermal yang dipakai sebagai bahan bakar pembangkit umum.
Pengiriman tersebut, diperkirakan dijual oleh perusahaan milik negara China Shanxi Coking Coal Group. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menilai apakah batubara kokas China dapat bersaing secara ekonomi di pasar luar negeri melawan pemasok tradisional seperti Australia, Rusia, dan Mongolia, kata sumber tersebut.
Peredaran Batu Bara China di Indonesia:
- China Risun Group, untuk digunakan di pabrik pengolahan kokas mereka di Sulawesi;
- Hong Kong Jinteng Development Ltd, yang kemudian mengekspor batubara itu ke Indonesia;
- Dan ke sebuah fasilitas milik Dexin Steel di Indonesia.
Pengiriman ini adalah ketiga kalinya sejak awal 2024. Langkah ini tidak biasa mengingat China adalah importir batu bara terbesar dan bukan pengekspor.
Harga batubara kokas China umumnya tidak kompetitif dibandingkan dengan produk dari Australia, Rusia, dan Mongolia, Namun, permintaan yang meningkat di Asia Tenggara, terutama di Sulawesi yang menjadi pusat pemrosesan kokas dan baja, telah membuka celah bagi penjualan batu bara kokas China.
“Ini lebih seperti uji pasar daripada tren baru. Biayanya masih lebih tinggi dibandingkan pemasok utama lainnya.” kata seorang pedagang internasional, dikutip dari Reuters.
Sumber perdagangan lainnya menyebutkan bahwa produksi baja yang melambat di China telah menyebabkan kelebihan pasokan batubara kokas, sehingga membuka kemungkinan ekspor, meski untuk volume kecil.
Di Indonesia, kapasitas pabrik pengolahan kokas di Sulawesi belum sepenuhnya dimanfaatkan, hanya beroperasi di sekitar 60-70%, sebagian karena pembatasan impor dari India, menurut seorang sumber industri di wilayah tersebut.
Langkah China ini menggarisbawahi bagaimana dinamika perdagangan batubara kokas global mulai bergeser, meskipun pasar percaya bahwa ekspor batubara kokas dari China ke Indonesia kemungkinan akan tetap terbatas dalam waktu dekat karena faktor biaya dan kualitas.
(Dist)