JAKARTA,TM.ID: Ditemukan sejumlah aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus kerusuhan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada 7 September 2023. Bentrok aparat dengan warga ini berlatarkan proyek pembangunan Kawasan Rempang Eco-City.
Solidaritas Nasional untuk Rempang yang terdiri dari sembilan lembaga peduli HAM menyimpulkan bahwa dalam peristiwa kekerasan itu telah terjadi dugaan pelanggaran HAM.
Dengan demikian kumpulan lembaga tersebut menegaskan bahwa kerusuhan Pulau Rempang harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sikap tersebut dinyatakan dalam publikasi bertajuk “Keadilan Timpang di Pulau Rempang”, Senin (18/9/2023).
BACA JUGA: Polri Kirim 400 Personel untuk Selesaikan Ricuh di Pulau Rempang, Batam
Kesembilan lembaga yang merilis laporan “Keadilan Timpang di Pulau Rempang” tersebut terdiri dari: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru, Eksekutif Nasional WALHI, WALHI Riau, KontraS, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Trend Asia.
Disebutkan, pelanggaran HAM dapat dibuktikan dari pengerahan kekuatan aparat yang berlebihan sehingga berujung pada tindak kekerasan, minimnya partisipasi dan aksesibilitas informasi terkait investasi yang masuk.
Selain itu, penangkapan secara sewenang-wenang yang dilakukan aparat Polresta Barelang pasca aksi, hak perempuan dan anak yang terlanggar, hilangnya rasa aman dan ketakutan yang terbangun secara masif di tengah-tengah masyarakat Rempang, serta diabaikannya aspek HAM.
Sikap pemerintah yang melanggar instrumen HAM seperti nilai HAM dalam konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, International Covenant on Civil and Political Rights menurut UU No. 12 Tahun 2005.
“Dengan demikian, sudah cukup bagi Komnas HAM untuk menyatakan tragedi di Rempang pada 7 September 2023 sebagai peristiwa Pelanggaran HAM,” demikian isi laporan itu.
Dampak dari respon berlebihan Polri yang mengklaim tidak ada korban pada peristiwa Rempang dan penggunaan gas air mata telah sesuai prosedur, semuanya dapat dibantah oleh temuan fakta di lapangan.
Sementara berdasarkan keterangan para saksi di lapangan, pengerahan aparat dilakukan dengan skala yang sangat besar.
Hal itu dapat dibuktikan dengan tayangan-tayangan video yang sudah beredar di masyarakat.
“Memperlihatkan aparat di lapangan begitu brutal dan eksesif dalam menangani kelompok massa aksi yang menolak pematokan tanah.”
Tindakan tidak terukur aparat kepolisian pun tampak pada penembakan gas air mata, yang bahkan sempat menganggu siswa-siswi SD yang sedang menjelani aktivitas belajar di sekolah.
Temuan Solidaritas Nasional Untuk Rempang di lapangan, kehadiran aparat terbukti telah membangun efek ketakutan di tengah masyarakat serta terganggunya aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
dengan demikian, aparat Kepolisian dan TNI harus segera menghentikan penggunaan kekuatan, khususnya gas air mata secara berlebihan untuk menangani konflik di masyarakat.
Aparat gabungan juga harus segera menarik pasukan dan membubarkan seluruh posko yang saat ini ada di Pulau Rempang yang berimplikasi pada terbangunnya iklim ketakutan dan ketidaknyamanan di tengah-tengah masyarakat.
Polri dan TNI juga harus berhenti mengerahkan aparat menuju Pulau Rempang, khususnya untuk melakukan sosialisasi.
KontraS, salah satu dari sembilan lembaga itu menyatakan kecenderungan institusi kepolisian terus menggunakan gas air mata sebagai alat untuk kembali mengancam masyarakat yang menentang proyek-proyek pemerintah.
BACA JUGA: Penahanan 8 Tersangka Kerusuhan Rempang Ditanggukan Polresta Barelang
Berikut desakan KontraS terhadap pemerintah:
Presiden sebagai panglima tertinggi Polri segera memerintahkan Kapolri untuk menghentikan pendekatan kekerasan saat melakukan penanganan massa;
Kapolri harus menghentikan pembelian amunisi gas air mata sampai ada evaluasi dan perbaikan mengenai tata kelola penggunaan gas air mata
Dewan Perwakilan Rakyat harus segera memanggil Kapolri untuk dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan gas air mata
Badan Pemeriksa Keuangan harus melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap pembelian gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian sejak tahun 2013.
(Aak)