BANDUNG,TM.ID: Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Tirta Karma Senjay menyatakan, pajak kripto di Indonesia sangat berdampak terhadap nilai transaksi kripto dalam negeri.
“Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri,” kata Tirta di Talkshow Indodax, dikutip Rabu (28/2/2024).
Sebelumnya, pemerintah resmi mengenakan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 sejak 1 Mei 2022. Permenkeu tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Ia menyebut, pengenaan PPH dan PPN karena aset kripto saat ini masih dianggap sebagai barang komoditas. Tirta berharap pajak kripto bisa dikenakan setengahnya mengingat industri kripto di tanah air yang masih baru.
“Kalau dikenakan langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” ujar Tirta.
Terkait peralihan pengawas aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat menjadi evaluasi untuk Dirjen Pajak karena nantinya aset kripto akan masuk dalam sektor keuangan.
“Biasanya pajak ada evaluasi kalau pajak aset kripto tidak direduksi, setidaknya pengenaannya tidak PPh dan PPn. Kami bersama asosiasi siap berkoordinasi dengan Dirjen Pajak,” lanjut Tirta.
BACA JUGA: Bos MicroStrategy Timbun 190 Ribu Bitcoin: Lebih Menguntungkan dari Emas!
Meskipun begitu, menurut Tirta pengenaan pajak untuk aset kripto memberikan kontribusi luar biasa pada negara. Bahkan pajak aset kripto lebih dari 50 persen dibandingkan fintech.
Dari sisi pelaku industri, CEO Indodax, Oscar Darmawan berharap pajak PPn untuk aset kripto dihilangkan dan hanya mengenakan PPh seperti transaksi di pasar saham.
“Perkembangan regulasi semakin baik di Indonesia dengan adanya PPh dan PPn, tetapi dengan tidak adanya PPN, itu lebih baik,” pungkasnya.
PMK 68/2022 mengatur besaran pajak untuk setiap transaksi cryptocurrency. Pembeli atau penerima aset kripto dikenakan PPN dengan dua syarat.
Jika transaksi dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, pembayaran pajaknya adalah 0,11% dari nilai transaksi. Jika transaksi kemudian dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, maka pembayaran pajaknya adalah 0,22%.
Sedangkan penjual atau yang menyerahkan aset kripto dikenakan PPh dengan dua syarat. Jika perdagangan dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, tarif pajak adalah 0,1% dari nilai perdagangan.
Namun, jika penjualan dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti, PPh 0,2% dari nilai perdagangan.
Sebagai indormasi, Selain transaksi jual beli, ada juga PPN dan PPh untuk penambang dan jasa penambangan kripto (mining pool).
Sementara itu, tarif PPN adalah 1,1% dari nilai konversi aset kripto dan layanan penambangan yang transaksi asetnya telah dikonfirmasi.
Pada saat yang sama, tarif PPh akhir untuk pendapatan penambangan mata uang kripto adalah 0,1% dari pendapatan penambang mata uang kripto tidak termasuk PPN.
Pada dasarnya pajak kripto ini menjadi sumber pemasukan bagi negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani sukses mengumpulkan pajak hingga Rp246,45 miliar per Desember 2022.
(Dist)