BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Baru-baru ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan rencana memasukkan Pendidikan Militer ke dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) guna menanamkan rasa bela negara pada para siswa.
Terkait hal tersebut, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Mustofa, S.Pd., M.A., Ph.D., menanggapinya dengan konsep pendidikan militer di sekolah bukanlah hal baru. Ia menyebutkan, sejumlah negara maju, seperti Korea Selatan dan Jepang, telah lebih dulu menerapkan sistem ini.
“Tidak ada masalah selama tujuannya untuk meningkatkan rasa nasionalisme di tengah arus globalisasi,” ungkapnya, melansir laman unusa.
Namun, ia menekankan perlunya kejelasan dalam perencanaan program ini. Pasalnya, konsep pendidikan nasionalisme dan bela negara sebenarnya sudah ada dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sejak tingkat Sekolah Dasar hingga SMA. Meski demikian, pembelajaran tersebut masih cenderung berfokus pada teori dibanding implementasi yang kontekstual.
“Bagaimanapun, wacana ini masih sebatas rencana dan belum ada kepastian,” tambahnya.
Kurikulum Harus Matang dan Tidak Tumpang Tindih
Mustofa menyarankan agar kurikulum Pendidikan Militer dirancang dengan matang jika memang benar-benar akan diterapkan. Ia menilai bahwa program ini seharusnya tidak hanya baik secara administrasi, tetapi juga memiliki implementasi yang jelas.
Menurutnya, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan militer pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni menanamkan serta memperkuat rasa nasionalisme dan bela negara di kalangan generasi muda. Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia sering kali memiliki terlalu banyak istilah dalam sistem pendidikan, yang justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih.
“Jika pendidikan militer benar-benar dimasukkan dalam kurikulum, fokusnya harus pada praktik dan pelatihan fisik, bukan sekadar teori,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa konsep kurikulum yang dibuat harus memiliki pembeda yang jelas dengan mata pelajaran lain agar tidak sia-sia. Selain itu, ia menyoroti bahwa solusi utama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan.
Tiga Hal Krusial untuk Memperbaiki Pendidikan
Mustofa mengungkapkan tiga aspek penting yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, peningkatan kualitas guru. Menurutnya, peran kampus dalam mencetak tenaga pendidik berkualitas sangatlah krusial.
BACA JUGA:
Ikut Terlibat Tawuran, Legislator Usul Dihukum Ikut Pendidikan Militer
Dedi Mulyadi Wacanakan Wajib Militer SMA: Tengok Efek Wamil di Korea Selatan
“Di negara maju, seleksi untuk menjadi guru sangat ketat. Selain itu, kesejahteraan guru juga diperhatikan. Di Indonesia, gaji guru masih jauh dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia,” paparnya.
Kedua, perubahan pola pikir. Ia menegaskan bahwa pelatihan guru tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga harus mengubah mindset mereka agar lebih adaptif terhadap perubahan.
Terakhir, supervisi dalam implementasi kebijakan pendidikan. Ia mengingatkan konsep yang baik harus diiringi dengan praktik yang sesuai di lapangan agar tidak terjadi kesenjangan antara rencana dan pelaksanaannya.
(Virdiya/Budis)