BANDUNG,TEROPONGMEDIA.ID — Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) menggelar sebuah pentas ketoprak dengan tajuk “Mendhung ing Karangwuni” pada Selasa malam (20/8/2024).
Acara tersebut menampilkan kolaborasi unik yang memadukan seni tradisi dengan sentuhan kritik sosial. Dibuka dengan nyanyian tembang Jawa yang syahdu, ketoprak ini membawa para penonton ke dalam dunia yang penuh dengan nuansa klasik.
Lakon ini tidak hanya membahas isu-isu sosial yang relevan dengan kehidupan masyarakat masa kini, tetapi juga diselingi dengan elemen romansa yang menjadikannya lebih menarik dan dinamis.
Pusat Cerita
Cerita berpusat pada seorang anak perempuan di desa Karangwuni yang dipaksa untuk menikah dengan anak seorang investor, demi perbaikan desanya. Meski mengangkat isu yang cukup berat, alur cerita tetap terjaga dengan baik berkat kehadiran unsur romantis, yang membuat penonton terhibur dan tidak merasa jenuh.
Pertunjukan ini semakin sempurna dengan dukungan properti, pencahayaan, dan alunan musik gamelan yang berhasil membawa penonton serasa berada di dalam situasi yang sebenarnya.
Tidak jarang, penonton ikut terlibat dalam dialog-dialog yang menggelitik, yang kemudian dibalas oleh para pemain dengan cerdas, menghasilkan gelak tawa dan suasana yang cair.
Di akhir pertunjukan, tepuk tangan meriah pun diberikan kepada para pemain yang telah bekerja keras menyuguhkan sebuah karya seni yang memukau.
Pembawaan ketoprak ini unik, karena tanpa naskah yang baku, melainkan berdasarkan sebuah treatment, membuat improvisasi menjadi kunci dalam setiap adegan.
Sutradara dan Inisiator Pertunjukan
Sutradara dan inisiator pertunjukan, Bambang Paningrom, berhasil membimbing para pemain untuk menciptakan sebuah pentas yang dinamis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, hanya dalam lima kali latihan.
Cerita yang ditampilkan terinspirasi dari kawasan Karangwuni di utara UGM, meski lebih menekankan pada nilai-nilai dan kritik sosial yang lebih luas. Bambang menjelaskan lakon ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi saat ini, di mana keputusan sering diambil tanpa mempertimbangkan suara masyarakat sekitar.
“Peristiwa yang dibayangkan adalah peristiwa yang aktual di masa sekarang, di mana orang mengambil keputusan tanpa mendengarkan suara lingkungan terdekatnya. Banyak yang melanggar norma, etika, dan semua ini akan tercermin dalam lakon,” ungkap Bambang.
Acara ketoprak ini juga menjadi bagian dari upaya UGM untuk lebih inklusif dan dekat dengan masyarakat. Bambang berharap UGM tidak hanya dilihat sebagai “menara gading” yang jauh dari masyarakat, tetapi sebagai institusi yang terus berinteraksi dan memberikan manfaat bagi warga sekitar.
“Jadi ketoprak itu bukan cuma pertunjukan tapi benar-benar sebuah media menyampaikan gagasan, sharing dan penghargaan pada tradisi khususnya Jawa,” tambah Bambang.
BACA JUGA: UGM Masuk Golongan 50 Universitas Terbaik Dunia Pada The Impact Rangkings 2023
Harapannya pentas ketoprak yang digelar di GIK UGM dapat memupuk sikap kritis, keterbukaan, integritas, serta penghormatan terhadap tradisi dan ide-ide yang berbeda. Pentas tersebut juga melibatkan berbagi elemen masyarakat mulai dari warga sekitar UGM hingga tenaga pendidik.
(Virdiya/Budis)