TANJUNGPINANG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Di tengah gegap gempita teknologi dan digitalisasi, generasi muda hari ini hidup dalam persimpangan paling kompleks yang pernah dihadapi mahasiswa Indonesia. Mahasiswa Gen Z, yang lahir dan tumbuh di era kecepatan informasi dan krisis global, kini berhadapan langsung dengan kenyataan bahwa pendidikan tinggi tidak lagi mudah dijangkau.
Di satu sisi mereka dijejali semangat perubahan, tapi di sisi lain tercekik oleh sistem pendidikan yang semakin mahal dan tak manusiawi. Data Badan Pusat Statistik pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 20,31% Gen Z Indonesia masuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Itu berarti hampir 10 juta anak muda terhenti langkahnya: tidak kuliah, tidak bekerja, dan tidak ikut pelatihan. Angka ini mengungkap bahwa krisis pendidikan tidak lagi bersifat teoritis, tapi nyata dan menyentuh langsung kehidupan harian anak muda dari Sabang sampai Merauke.
Tak berhenti di situ, laporan Deloitte Global tahun yang sama menyebut bahwa 31% Gen Z Indonesia memilih tidak melanjutkan pendidikan tinggi karena persoalan biaya, sedangkan 39% lainnya mengaku kesulitan menyelesaikan studi akibat tekanan finansial. Artinya, hampir 7 dari 10 anak muda Indonesia kini berkuliah sambil menanggung beban ekonomi yang berat, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga mereka.
Kondisi ini kian diperparah dengan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada menyampaikan keresahannya melalui survei BPPM Balairung: 70,7% merasa UKT tidak adil, dan lebih dari separuh menganggap sistem verifikasi biaya kuliah tidak manusiawi.
Sementara itu, di Universitas Indonesia, ITS, Universitas Riau, hingga Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, keluhan serupa juga bermunculan. Mahasiswa mengaku terkejut karena mendapati nominal UKT naik berkali-kali lipat tanpa ada penjelasan transparan dari kampus. Kenaikan bahkan mencapai 300 hingga 500 persen. Di Tanjungpinang, mahasiswa UMRAH dan beberapa kampus swasta lainnya juga menyatakan bahwa forum diskusi antara mahasiswa dan pihak kampus lebih sering bersifat formalitas ketimbang ruang menyampaikan suara secara substansial. Banyak mahasiswa merasa kebijakan diturunkan dari atas begitu saja, tanpa ruang negosiasi atau pelibatan mahasiswa sebagai pihak yang terdampak langsung.
Kondisi ini memantik munculnya aksi solidaritas lintas kampus. Pada Februari 2025, aliansi BEM Seluruh Indonesia meluncurkan gerakan nasional #IndonesiaGelap.
Aksi ini menolak liberalisasi pendidikan, menuntut keterbukaan kebijakan UKT, dan mengecam berbagai kebijakan negara yang dianggap tidak berpihak pada akses pendidikan rakyat kecil. Demonstrasi besar terjadi di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, hingga Jayapura.
Di berbagai kota, mahasiswa turun ke jalan dengan poster bertuliskan “Pendidikan Bukan Komoditas”, “Kami Ingin Belajar, Bukan Dibebani”, dan “Transparansi Sekarang Juga”.
Di Jayapura, mahasiswa Universitas Cenderawasih bahkan sempat dibubarkan aparat karena aksi menolak kenaikan UKT dianggap mengganggu ketertiban umum. Namun perjuangan tidak hanya terjadi di jalanan. Di ruang digital, mahasiswa Gen Z melancarkan aktivisme hibrida melalui video edukatif di TikTok, infografis di Instagram, thread panjang di X (Twitter), hingga naskah opini digital di berbagai media kampus.
Mereka menjadikan teknologi bukan hanya alat hiburan, tapi media perjuangan. Hashtag seperti #SuaraMahasiswa dan #KamiBersamaPendidikan menjamur dan menarik ratusan ribu atensi publik. Ini adalah cara baru Gen Z dalam merawat kritik: bukan sekadar orasi di podium, tapi juga narasi di ruang digital.
Sejumlah akademisi menyoroti fenomena ini sebagai bagian dari arus neoliberalisasi pendidikan tinggi. Dr. Arif Hidayat dari Universitas Negeri Jakarta menyebut bahwa sistem pendidikan kini semakin dikelola layaknya perusahaan, di mana kampus dituntut mandiri secara finansial, namun kerap mengabaikan fungsi sosial dan keilmuan.
“Ketika kampus berubah menjadi pasar, maka relasi antara mahasiswa dan institusi menjadi relasi transaksional. Padahal pendidikan seharusnya menjadi ruang transformasi, bukan komersialisasi,” ujarnya dalam diskusi daring yang diadakan oleh Forum Pendidikan Nasional.
Usulan mulai bermunculan dari berbagai kampus: pembentukan tim audit independen untuk memantau distribusi dan penetapan UKT, skema beasiswa berbasis kebutuhan yang merata, hingga forum dialog wajib antara mahasiswa dan pimpinan kampus setiap semester. Ini bukan sekadar tuntutan finansial, tapi juga upaya merebut kembali ruang kepercayaan yang telah lama hilang antara mahasiswa dan kampus.
Mahasiswa Gen Z bukan generasi yang apatis. Justru mereka tumbuh di tengah berbagai tantangan sosial, dari krisis iklim hingga ketimpangan ekonomi, dan belajar beradaptasi dengan cara mereka sendiri.
Ketika sistem pendidikan tinggi semakin eksklusif, mereka justru menciptakan cara-cara baru untuk bersuara, menolak tunduk pada situasi yang tidak adil. Mereka bukan hanya mahasiswa yang sedang kuliah, tapi juga warga negara muda yang sedang mempertaruhkan masa depannya.
Mereka sadar bahwa pendidikan bukan hanya soal ijazah, tapi juga soal martabat dan hak untuk mengakses pengetahuan. Dan dari Tanjungpinang hingga Manado, dari ruang kelas hingga jagat maya, mahasiswa hari ini mengingatkan kita semua: bahwa pendidikan adalah hak, bukan barang mewah. Bahwa perjuangan belum selesai, dan bahwa suara mereka meski sering diredam tapi tetap nyaring bergema dalam lorong-lorong kampus dan layar ponsel kita semua.
(Muhamad Syafiq Gusmalianto/Universitas Maritim Raja Ali Haji)