BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Film “Yuni” mencerminkan realitas masyarakat kita hari ini dengan keberanian menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Lebih dari itu, “Yuni” hadir sebagai simbol pembebasan yang menggugah kesadaran akan berbagai isu yang masih menghantui perempuan dalam masyarakat.
Pengalaman menyaksikan “Yuni” tidak hanya mengesankan, tetapi juga memilukan. Cuplikan film ini menggambarkan perjalanan tragis perempuan yang terbentuk oleh norma-norma sosial yang membatasi kebebasan dan martabatnya.
Adegan tentang “suara itu aurat” menjadi titik awal yang kuat, menggambarkan konflik antara tradisi relijius-konservatif dan kebebasan berekspresi perempuan.
Film “Yuni” juga menyoroti praktik tes keperawanan yang masih ada di masyarakat, menjadi simbol dari maskulinitas yang menindas dan mengontrol tubuh perempuan.
Tes keperawanan menjadi representasi dari ketidaksetaraan gender dan penindasan terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Melalui karakter Yuni dan pengalaman yang ada, film ini mengajak penonton untuk merenungkan berbagai isu sosial yang seringkali terabaikan.
Dari pembatasan suara perempuan hingga stigma terhadap tubuh dan keputusan perempuan, “Yuni” menggambarkan realitas yang kompleks dan memprovokasi pemikiran tentang keadilan gender.
BACA JUGA : Sinopsis Film Jaws (1975), Teror Hiu Putih yang Mencekam!
Dengan adegan-adegan yang memberontak, “Yuni” memberikan gambaran yang kuat tentang pembebasan tubuh perempuan dan pentingnya suara perempuan dalam melawan ketidakadilan.
Film ini bukan hanya sekadar tontonan, melainkan juga cerminan dari realitas masyarakat yang masih terbelenggu oleh norma dan patriarki.
“Yuni” bukan hanya tentang kesetaraan gender, tetapi juga tentang keadilan sosial yang lebih luas. Film ini mengajak untuk melihat lebih dalam, merenungkan, dan bertindak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, kesetaraan, dan keadilan bagi semua.
(Hafidah Rismayanti/Aak)