BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kasus kekerasan seksual masih menjadi momok yang seringkali menggangu rasa aman masyarakat. Data menunjukan mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki, sehingga memunculkan persepsi pria lebih rentan menjadi pelaku. Namun, realitas di lapangan jauh lebih kompleks dan memerlukan pemahaman menyeluruh.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan publik pada Mei 2025 adalah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Sebelum dibubarkan, grup ini telah mengumpulkan lebih dari 32.000 anggota dan berisi unggahan vulgar yang mengandung fantasi inses, termasuk gambar anak-anak disertai keterangan tidak pantas. Fenomena ini menegaskan betapa kekerasan seksual bisa tumbuh subur, bahkan di ruang digital yang terbuka.
Kekerasan seksual tidak hanya mencakup pemerkosaan, tetapi juga pelecehan hingga inses (hubungan seksual dalam satu keluarga). Menurut data dari RAINN (Rape, Abuse & Incest National Network), tiga dari empat kasus pemerkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Bahkan, 93% korban pelecehan seksual anak mengenal pelakunya, dan 30% di antaranya merupakan anggota keluarga sendiri.
Studi dari Cal Poly Humboldt memperkuat temuan ini. Sekitar 91% korban kekerasan seksual adalah perempuan, dan hampir 99% pelakunya adalah laki-laki. Meski demikian, penting untuk diingat bahwa pelaku juga bisa berasal dari kalangan perempuan, walau jumlahnya jauh lebih kecil. Studi dari PubMed Central mengonfirmasi bahwa kekerasan seksual oleh perempuan memang terjadi, meski sering kali kurang terlihat dan dilaporkan.
Kekerasan Seksual yang Terjadi dalam Keluarga
Inses adalah bentuk kekerasan seksual paling merusak, terutama saat terjadi antara ayah atau ayah tiri dan anak perempuan. Psychiatric Times mencatat bahwa inses ayah-anak terjadi pada sekitar 1 dari 20 keluarga biologis, dan meningkat menjadi 1 dari 7 pada keluarga dengan ayah tiri.
Menurut Wikipedia, inses antara ayah-anak perempuan dan ayah tiri-anak perempuan menjadi jenis inses paling banyak dilaporkan. Di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan mencatat 433 kasus inses pada tahun 2021, dengan ayah kandung sebagai pelaku terbanyak.
Kasus grup Fantasi Sedarah memperlihatkan bagaimana fantasi inses dapat dengan mudah tersebar dan dinormalisasi melalui platform digital. Saat ini, Polda Metro Jaya sedang menyelidiki kasus ini, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut memberikan pendampingan untuk korban yang teridentifikasi.
Mengapa Pelaku Kekerasan Seksual Didominasi Laki-Laki?
Ada sejumlah faktor yang menjelaskan kecenderungan laki-laki menjadi pelaku kekerasan seksual, terutama dalam kasus inses:
1. Ketimpangan Kekuasaan dan Budaya Patriarki
Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kendali dalam keluarga bisa menciptakan celah untuk terjadinya kekerasan seksual. Dalam struktur keluarga tradisional, ayah atau suami dianggap sebagai pemilik otoritas penuh atas istri dan anak-anak.
Sosiolog sekaligus anggota Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Insan Budi Utomo, Winin Maulidya Saffanah, menjelaskan bahwa persepsi kepemilikan terhadap anggota keluarga dapat mendorong tindakan menyimpang. Dalam kondisi ekstrem, ini bisa menyebabkan ayah memperlakukan anak dan istri sebagai objek seksual.
2. Faktor Psikologis dan Riwayat Trauma
Banyak pelaku inses memiliki latar belakang trauma masa kecil atau gangguan psikologis. Studi dari Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law menyebutkan bahwa pelaku inses sering mengalami gangguan emosional dan penyalahgunaan zat sejak muda. Hal ini berdampak pada perkembangan psikoseksual mereka dan meningkatkan risiko melakukan kekerasan seksual.
3. Paparan Konten Pornografi Bertema Inses
Genre pornografi “fauxcest” (yang menggambarkan hubungan seksual antara anggota keluarga) mengalami peningkatan drastis. Data dari Fight the New Drug menunjukkan bahwa sejak 2014, konsumsi konten bertema fauxcest meningkat hingga 178%. Walau belum ada bukti kuat bahwa pornografi secara langsung menyebabkan inses, paparan konten semacam ini bisa menurunkan hambatan moral, terutama pada individu yang sudah rentan.
Dampak Berat bagi Korban
Korban inses, khususnya anak-anak, mengalami dampak psikologis yang mendalam. Menurut Counseling Today, banyak korban membentuk ikatan traumatik (trauma bonding) dengan pelaku, sehingga sulit membedakan antara kasih sayang dan kekerasan.
RAINN melaporkan bahwa 94% perempuan yang mengalami perkosaan menunjukkan gejala PTSD dalam dua minggu pertama, dan 30% masih mengalami gejala tersebut sembilan bulan kemudian. Dalam kasus inses, trauma sering kali lebih berat karena pelaku adalah orang tua atau figur pelindung.
Anak-anak yang menjadi korban kerap merasa bersalah atau bingung karena diajarkan sejak kecil untuk patuh pada orang tua. Hal ini menghambat proses penyembuhan dan meningkatkan risiko gangguan psikologis jangka panjang, seperti depresi, kecemasan, hingga perilaku menyimpang saat dewasa.
Baca Juga:
Oknum Driver inDrive Diduga Lakukan Pelecehan Seksual terhadap Penumpang di Cileunyi Bandung
Christin Novalia Lakukan Audiensi Kasus Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur
Kekerasan seksual, terutama dalam bentuk inses, adalah kejahatan yang sering terjadi di balik pintu tertutup rumah tangga. Data global maupun lokal menunjukkan bahwa laki-laki, khususnya ayah dan ayah tiri, mendominasi sebagai pelaku. Meski perempuan juga bisa menjadi pelaku, kasus tersebut masih jarang dilaporkan.
Upaya pencegahan dan edukasi publik tentang kekerasan seksual perlu terus digalakkan. Penguatan hukum, perlindungan korban, serta pemantauan konten digital harus menjadi prioritas bersama agar kasus seperti Fantasi Sedarah tidak terulang kembali.
(Virdiya/)