BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Uni Emirat Arab (UEA) kembali membuktikan diri sebagai kekuatan baru dalam perlombaan teknologi global.
Melalui proyek ambisius pembangunan kota berbasis kecerdasan buatan (AI) di Abu Dhabi yang ditargetkan beroperasi pada 2027, UEA ingin menggeser narasi dominasi Silicon Valley dan Beijing dalam ranah AI.
Dengan investasi senilai USD 2,5 miliar (sekitar Rp 40 triliun), proyek ini bukan hanya soal membangun kota canggih, tapi juga mengukuhkan posisi UEA sebagai pemimpin geopolitik baru di era digital.
Di balik semua itu, ada strategi besar: memanfaatkan teknologi sebagai alat diplomasi dan daya tawar global pasca-energi fosil.
UEA menggandeng dua perusahaan teknologi, Synapsia (Italia) dan Bold Technologies (UEA), untuk mengembangkan sistem terintegrasi yang dinamai Aion Sentia, otak digital yang mengatur seluruh aspek kehidupan di kota ini dari transportasi, energi, hingga layanan publik dan kesehatan.
Namun, lebih dari sekadar efisiensi, proyek ini adalah upaya menampilkan citra UEA sebagai pusat inovasi yang menyaingi kekuatan teknologi tradisional seperti AS, China, dan Eropa.
Dengan sistem MAIA sebagai mesin AI generatif di balik kota, UEA ingin menunjukkan bahwa mereka mampu membangun bukan sekadar “smart city,” tetapi cognitive city kota yang mampu belajar dan berpikir.
“Kota ini bukan hanya dikendalikan teknologi, tetapi memiliki kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan warganya secara real-time,” ujar CEO My Aion Inc, Daniele Marinelli.
Penting untuk dicatat bahwa pengembangan kota AI ini berlangsung di tengah tensi global soal teknologi, terutama terkait akses chip dan data.
Amerika Serikat, dalam langkah strategis, baru-baru ini mencabut pembatasan ekspor chip ke UEA, sebagai bagian dari kerja sama pembangunan kampus AI terbesar di luar AS.
Ini bukan sekadar dukungan, melainkan bagian dari strategi Washington untuk memperkuat aliansi teknologi dan melawan pengaruh China yang juga berambisi menguasai pasar AI global.
Sementara itu, rival regional UEA, Arab Saudi, juga tak tinggal diam dengan proyek futuristiknya, Neom. Kedua negara Teluk ini sedang membentuk poros kekuatan baru, menandai babak baru persaingan di kawasan, bukan soal senjata atau minyak, tapi tentang kecanggihan algoritma dan pengaruh digital.
Pemerintah UEA mengisyaratkan bahwa kota AI di Abu Dhabi hanyalah langkah awal. Proyek ini dirancang sebagai prototipe yang siap diekspor ke negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Baca Juga:
Beredar di TikTok, Ridwan Kamil Bagikan Bantuan?
Dengan kata lain, UEA mencoba menjual model pembangunan cepat dan futuristik, yang sangat menarik bagi negara-negara yang sedang mengejar urbanisasi tapi minim infrastruktur digital.
Jika berhasil, UEA bisa menjadi negara pengekspor konsep kota masa depan melampaui peran tradisionalnya sebagai eksportir energi.
Meski menjanjikan, membangun kota yang digerakkan oleh AI tetap mengundang kekhawatiran. Isu etika penggunaan data, hak privasi warga, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan berbasis algoritma menjadi sorotan utama.
Struktur pemerintahan UEA yang otoritatif mungkin membuat proses implementasi lebih cepat, tapi juga rawan disalahgunakan jika tidak ada pengawasan transparan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: bisakah AI digunakan untuk membebaskan masyarakat, atau justru memperkuat kontrol?
UEA tak lagi sekadar negara kaya minyak yang memoles citra dengan gedung pencakar langit dan mall mewah. Lewat kota AI ini, mereka ingin masuk dalam peta elite teknologi dunia.
Di era di mana data adalah kekuatan baru, UEA sedang membangun kota yang bisa berpikir dan dengan itu, posisi tawar yang jauh lebih besar dalam kancah global.
(Budis)