BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Sejumlah dokter mengingatkan akan risiko kesehatan akut maupun kronis akibat paparan gas air mata, terutama bila terhirup atau terkena dalam waktu lama.
Hal ini sebagai bentuk imbauan ke masyarakat agar tak melakukan anarkistis yang justru merusak kesehatannya.
Ketua Dewan Kehormatan PDPI Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan paparan gas air mata tidak hanya menimbulkan gangguan pernapasan, tetapi juga gejala lain seperti rasa perih pada mata, mulut, dan hidung, penglihatan kabur, sulit menelan, luka mirip terbakar bahan kimia, hingga reaksi alergi.
Menurutnya, efek tersebut berasal dari senyawa kimia yang umum terdapat dalam gas air mata, di antaranya chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR).
Tjandra menambahkan, tingkat keparahan paparan bergantung pada dosis, kondisi kesehatan individu, sensitivitas, serta lokasi paparan, apakah di ruang terbuka atau tertutup.
Faktor lingkungan, seperti hembusan angin kencang, juga memengaruhi intensitas paparan.
“Dalam kondisi tertentu, paparan dosis tinggi dalam waktu lama, terutama di ruang tertutup, berpotensi menimbulkan dampak kronis jangka panjang,” ujarnya, Minggu (31/8/2025) malam.
Gas air mata umumnya memengaruhi kulit, mata, paru-paru, serta saluran pernapasan. Gejala akut dapat berupa sesak dada, batuk, iritasi tenggorokan, mengi, dan sesak napas, bahkan berujung pada gangguan pernapasan berat.
Kelompok dengan penyakit paru kronis seperti asma dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) disebut lebih rentan.
Baca Juga:
Cara Ampuh Atasi Efek Gas Air Mata, Bukan Pakai Odol!
Pasca Demo Ricuh, Sisa Puing dan Bau Gas Air Mata Masih Tercium di Pusat Kota Bandung
“Mereka bisa mengalami serangan asma akut yang dalam kasus tertentu berujung pada gagal napas,” kata Tjandra.
Peringatan ini muncul setelah polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan aksi unjuk rasa di Jakarta dan sejumlah daerah lain.
Insiden tercatat di sekitar Gedung DPR pada 25 dan 28 Agustus 2025 serta di Markas Brimob, Kwitang, pada (29/8/2025).
Gelombang protes dipicu penolakan terhadap rencana tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp 50 juta per bulan.
Publik menilai kebijakan itu berlebihan di tengah biaya hidup yang meningkat dan kondisi ekonomi yang lesu.
Situasi semakin memanas setelah beredar pernyataan sejumlah legislator yang dianggap tidak sensitif, seperti menyamakan diri dengan buruh kasar, menyebut demonstran “tolol,” hingga beralasan jarak rumah jauh sebagai pembenar tunjangan.
(Anisa Kholifatul Jannah)