“Kami bukan pembunuh!” teriak puluhan sopir bus pariwisata saat berdiri di bawah terik matahari, mengangkat spanduk protes di ruas jalan Jakarta dan Bandung. Seruan mereka menggema tidak hanya di jalanan, tapi juga di ruang publik digital, setelah wacana pelarangan kegiatan study tour sekolah mencuat ke permukaan. Mereka bukan sekadar melawan sebuah pernyataan—tetapi memperjuangkan kehidupan.
Kronologi, Dari Pernyataan hingga Demonstrasi
Semua bermula dari pernyataan Dedi Mulyadi, anggota DPR RI yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat di Jawa Barat. Dalam beberapa kesempatan, ia menyampaikan keprihatinan terhadap maraknya kecelakaan yang melibatkan bus study tour sekolah. Menurutnya, kegiatan ini tidak lagi relevan, membebani orang tua murid, dan membahayakan keselamatan siswa. Dedi mengusulkan agar sekolah fokus pada kegiatan edukatif lokal, serta menghindari perjalanan jauh yang dianggap tidak esensial.
Pernyataan itu kemudian menyulut reaksi. Dalam hitungan hari, para pelaku usaha transportasi pariwisata, terutama sopir dan pengelola bus, mengorganisir unjuk rasa di berbagai kota. Mereka datang dengan satu pesan tegas: “Jangan matikan usaha kami.”
Realitas di Lapangan, Siapa yang Terpukul?
Para sopir bus dan pemilik usaha kecil bidang pariwisata adalah tulang punggung dari sektor informal yang selama ini menopang kegiatan pendidikan non-formal seperti study tour. Bagi mereka, musim study tour bukan hanya soal pelesiran—itu adalah masa panen, waktu di mana cicilan lunas dan dapur ngebul.
Sejak pandemi COVID-19, sektor ini nyaris mati suri. Baru setahun terakhir permintaan mulai pulih, dan larangan study tour dianggap sebagai pukulan kedua. Banyak armada yang sudah diperbarui, sopir yang menjalani pelatihan ulang, dan sistem keselamatan yang ditingkatkan. Namun semua itu seakan tak dihitung dalam wacana pelarangan.
“Kalau semua dilarang karena satu dua kecelakaan, sama saja menyamaratakan. Lalu di mana penghargaan untuk yang sudah patuh aturan?” tanya Joko, seorang sopir asal Subang yang sudah 15 tahun mengabdi di jalur wisata pelajar
Keselamatan vs Kehidupan
Pernyataan Dedi Mulyadi memang berangkat dari kekhawatiran yang valid. Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kecelakaan yang melibatkan bus wisata mengalami peningkatan, dengan sebagian besar disebabkan oleh faktor teknis dan kelelahan pengemudi.
Namun, solusi yang diambil melalui pelarangan menyeluruh dianggap tidak proporsional. Apakah lebih bijak melarang semua kegiatan, atau memperbaiki sistem pengawasannya?
“Bukan tournya yang salah. Tapi SOP yang harus diawasi,” kata Ayu, pemilik PO Bus kecil di Bekasi. “Kalau sopirnya capek, kasih aturan maksimal jam kerja. Kalau busnya tua, buat standar usia maksimal kendaraan.”
Usulan dan Harapan Para Pelaku Lapangan
Dalam aksi dan wawancara, para sopir dan pelaku usaha bus pariwisata menyampaikan harapan mereka secara terbuka. Mereka ingin pemerintah rutin memeriksa kelayakan bus agar aman digunakan, serta mewajibkan pelatihan keselamatan bagi semua sopir.
Mereka juga menyarankan agar penyedia jasa study tour memiliki sertifikat resmi sebagai bukti kelayakan. Selain itu, mereka berharap Kemendikbud mengeluarkan panduan yang jelas soal pelaksanaan study tour yang aman dan mendidik.
Yang paling penting, mereka ingin ada ruang dialog antara pemerintah, sekolah, dan pelaku usaha. Mereka menolak keputusan sepihak, dan berharap kebijakan dibuat dengan mendengar suara orang-orang yang paling terdampak.
Pelajaran untuk Semua, Kebijakan Bukan Sekadar Aturan
Aksi para sopir ini menyuarakan satu hal penting: kebijakan publik harus mendengarkan mereka yang paling terdampak. Melindungi keselamatan siswa memang wajib, tetapi mematikan mata pencaharian ribuan keluarga bukanlah jalan keluar yang adil.
Dalam masyarakat demokratis, suara sopir bus dan pemilik usaha kecil harus memiliki tempat dalam proses pengambilan keputusan. Bukan untuk memaksakan kepentingan pribadi, tapi agar kebijakan lahir dari dialog, bukan asumsi.
Mencari Jalan Tengah yang Manusiawi
Pelarangan study tour tidak bisa hanya dilihat dari sisi keamanan semata, tanpa mengukur dampaknya terhadap ekonomi rakyat kecil. Seperti dua sisi koin, keselamatan dan penghidupan harus dijaga bersamaan.
Sudah saatnya kebijakan publik diukur dengan empati. Bahwa keselamatan siswa tidak bisa ditawar, namun keberlangsungan hidup para sopir juga tidak bisa diabaikan. Solusinya bukan pada pelarangan total, tetapi pada regulasi cerdas, kolaboratif, dan berpihak pada kepentingan semua pihak.
Karena sesungguhnya, di balik deru mesin dan debu jalanan, ada keluarga yang menggantungkan harapan pada roda-roda bus yang terus berputar.
Penulis:
Herlinda Purnamawati