BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Di balik pujian terhadap kecerdasan buatan (AI) yang mampu menggambar, menulis, hingga memecahkan persoalan kompleks tersimpan fakta mengejutkan, AI sedang menyedot cadangan air bersih dunia dalam senyap.
AI bukanlah robot yang merebut gelas air kita. Ancamannya datang dari pusat data-data center yang menopang sistem AI.
Server di dalamnya bekerja 24 jam tanpa henti dan menghasilkan panas ekstrem. Untuk mendinginkannya, dibutuhkan sistem pendingin berbasis air bersih. Banyak air bersih.
Menurut Forbes, satu kilowatt-jam (kWh) energi untuk sistem pendinginan bisa menghabiskan hingga 9 liter air bersih.
Di wilayah dengan pembangkit listrik termoelektrik seperti Amerika Serikat, angka itu bisa melonjak ke 43,8 liter/kWh. Dan jumlah ini akan terus bertambah seiring meningkatnya permintaan terhadap layanan berbasis AI.
Masalah semakin rumit karena AI banyak bergantung pada energi dari sumber lama pembangkit batu bara atau gas. Kombinasi ini menciptakan “duet maut” bagi pasokan air global.
Prediksinya: pada 2027, industri AI global akan mengonsumsi 6,6 miliar meter kubik air bersih, setara kebutuhan ratusan juta manusia selama setahun.
Microsoft, Google, dan Meta telah berjanji untuk menjadi “water positive” pada 2030. Artinya, mereka mengklaim akan mengembalikan lebih banyak air ke alam daripada yang dikonsumsi.
Tapi sejauh ini, laporan tahunan mereka lebih banyak mengandung jargon daripada transparansi. Detail konkret? Masih minim.
Janji tetaplah janji, jika tidak disertai aksi nyata yang bisa diaudit publik.
Baca Juga:
Windows 12 Dikabarkan Segera Rilis, Berbasis Kecerdasan Buatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa dua pertiga populasi dunia sudah mengalami krisis air setidaknya satu bulan dalam setahun dan itu sebelum ledakan AI.
Jika tak ada pembenahan, pada 2030 setengah penduduk dunia bisa hidup dalam kelangkaan air kronis.
Negara berkembang akan menjadi korban utama. Ironisnya, mereka tidak banyak dilibatkan dalam keputusan ekspansi data center global. Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keadilan global.
AI Canggih, Manusia Kehilangan Hak Dasar
Bayangkan dunia di mana AI bisa menulis puisi, membuat obat kanker, atau menyusun kebijakan ekonomi—namun manusia harus mengantre berjam-jam hanya untuk seteguk air. Ini bukan distopia fiksi ilmiah. Ini risiko nyata.
Sekjen PBB António Guterres sudah mengingatkan, air adalah hak asasi manusia, bukan komoditas korporasi. Dan kini, hak itu mulai terancam oleh industri yang katanya membawa masa depan.
Inovasi hebat, tapi jika membuat lingkungan kolaps, maka kebermanfaatannya patut dipertanyakan. AI harus melayani manusia bukan menggusur hak paling dasar, air bersih.
Masa depan bukan hanya soal kecerdasan digital, tapi soal keseimbangan hidup di bumi yang semakin rapuh.
(Budis)