Mengelola keuangan itu bukan cuma soal berapa besar pendapatanmu, tapi juga seberapa siap kamu menghadapi kebutuhan mendesak. Baik kamu seorang pelajar, pekerja kantoran, pebisnis, atau bahkan institusi besar, satu hal yang wajib diperhatikan adalah likuiditas.
Contohnya, seseorang yang memiliki tabungan tunai, akses kartu kredit, atau pinjaman yang mudah dicairkan bisa dianggap memiliki likuiditas tinggi. Sebaliknya, orang yang memiliki aset tetapi tidak bisa segera mencairkannya seperti rumah, tanah, atau kendaraan bisa dikatakan memiliki likuiditas rendah.
Baca Juga:
Bank Indonesia Prediksi Penjualan Eceran dan Inflasi akan Meningkat
Apa itu Likuiditas?
Likuiditas adalah kemampuan mengubah aset jadi uang tunai dengan cepat tanpa bikin nilainya turun drastis. Contohnya? Uang tunai, deposito jangka pendek, emas batangan, reksa dana pasar uang, dan saham yang aktif diperdagangkan.
Cara Menjaga Likuiditas
- Catat arus kas – Biar tahu kondisi keuangan dan bisa ambil keputusan tepat.
- Diversifikasi aset – Jangan taruh semua uang di satu tempat.
- Kendalikan pengeluaran – Bedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Namun bagi masyarakat umum, likuiditas berarti satu hal:
kemampuan memperoleh uang dengan cepat saat dibutuhkan, tanpa prosedur yang rumit.
Risiko Kalau Likuiditas Rendah
- Susah bayar tagihan mendadak
- Terpaksa jual aset murah
- Kehilangan peluang investasi
Likuiditas itu penting buat jaga stabilitas keuangan. Pastikan kamu selalu siap, terutama buat kebutuhan mendesak. Keuangan sehat = hidup lebih tenang.
Masyarakat harus mengenali Aset Likuid: Simpanan yang Mudah Dicairkan
Aset likuid adalah harta yang bisa dengan cepat diubah jadi uang tunai tanpa banyak kehilangan nilai. Penting banget untuk kebutuhan darurat atau keperluan mendadak.
Baca Juga:
Saat Emas Ramai Diburu, OJK dan Pegadaian Ingatkan Masyarakat Hati-hati
Contoh Aset Likuid:
- Uang tunai – Paling mudah dipakai kapan saja.
- Deposito jangka pendek – Bisa dicairkan cepat, meski kadang kena penalti.
- Emas batangan – Mudah dijual di banyak tempat.
- Reksa dana pasar uang – Bisa dicairkan dalam 1–2 hari kerja.
- Saham aktif di bursa – Bisa dijual saat pasar buka, meski harganya fluktuatif.
Ketika Bank Tidak Menjadi Pilihan
Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki kemudahan akses ke lembaga keuangan formal. Untuk mengajukan pinjaman ke bank, seseorang biasanya harus memenuhi persyaratan seperti slip gaji, riwayat kredit baik (BI Checking), jaminan, dan proses verifikasi yang bisa memakan waktu berhari-hari. Prosedur ini dianggap wajar dari sisi manajemen risiko bank, namun di sisi lain menciptakan jurang akses bagi mereka yang bekerja secara informal atau tidak memiliki dokumentasi lengkap.
“Kami mencatat bahwa sebagian besar masyarakat yang bekerja secara informal tidak memiliki akses kredit formal karena tidak bisa memenuhi syarat perbankan,” kata Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam konferensi pers Oktober 2024.
Hal ini mendorong masyarakat untuk mencari jalur lain: pinjaman daring. Berdasarkan data OJK, pada tahun 2024 tercatat lebih dari 17 juta akun aktif pengguna pinjaman online di Indonesia. Angka ini menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumber dana cepat.
Jebakan Pinjol: Ketika Kemudahan Kredit Menggerus Likuiditas
Pinjaman online (pinjol) memang menawarkan kemudahan: cepat cair, syarat ringan, cukup dari ponsel. Tapi kemudahan ini bisa jadi jebakan jika tak disertai perencanaan. Banyak orang terjebak bunga tinggi, cicilan tak terkendali, hingga harus gali lubang tutup lubang. Akibatnya, likuiditas kemampuan punya uang tunai saat butuh pun anjlok.
Baca Juga:
Bagaimana Pinjol Menggerus Likuiditas?
- Bunga dan biaya tinggi , bikin pengeluaran membengkak
- Siklus utang, mendorong pinjam lagi untuk bayar pinjaman lama
- Dana habis untuk konsumsi, bukan produktivitas
- Penagihan agresif, bisa mengganggu penghasilan dan kesehatan mental
Contoh Nyata
Budi, seorang pekerja lepas, meminjam Rp 1 juta dari pinjol. Karena gagal bayar, ia pinjam lagi di tempat lain. Tanpa sadar, utangnya menumpuk jadi jutaan rupiah beserta dengan bunga yang cukup tinggi yang ditawarkan oleh si pemberi pinjaman. Gaji habis untuk cicilan, uang darurat tak ada, kebutuhan pokok pun terancam.
Dampak Lebih Luas
Krisis likuiditas bukan cuma risiko individu. Jika banyak platform pinjol tak mampu menjaga likuiditasnya, bisa muncul risiko sistemik. Sejumlah kasus kebangkrutan pinjol di Indonesia mengindikasikan manajemen keuangan yang buruk, dan sayangnya, konsumen yang jadi korban.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Rencanakan keuangan, buat anggaran dan dana darurat
- Hindari pinjol konsumtif, pinjam hanya untuk kebutuhan mendesak atau produktif
- Cek legalitas pinjol, pastikan terdaftar di OJK
- Tingkatkan literasi keuangan, agar tak mudah terjebak janji manis kredit instan
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam sistem keuangan nasional. Di satu sisi, kita memiliki lembaga keuangan resmi yang stabil dan terjamin. Di sisi lain, jutaan warga tidak dapat mengakses layanan tersebut karena terbentur syarat dan prosedur.
Ke depannya, dibutuhkan dua hal:
- Inovasi dari sektor keuangan formal, terutama dalam penyediaan produk pinjaman mikro yang cepat, fleksibel, dan aman.
- Peningkatan literasi keuangan masyarakat, agar mereka memahami risiko dan dapat memilih layanan keuangan dengan lebih bijak.
Sektor perbankan perlu menyesuaikan diri dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya. Tanpa reformasi struktural dalam cara sistem keuangan bekerja, masyarakat akan terus mencari likuiditas di luar sistem resmi — meski berisiko tinggi.
Penutup
Likuiditas bukan hanya istilah teknis dalam buku ekonomi, tetapi sesuatu yang menyentuh hidup setiap orang. Ini adalah soal kemampuan bertahan, mengatasi krisis, dan menghadapi kebutuhan mendesak. Di tengah ketidakseimbangan akses dan risiko, masyarakat bergerak sendiri. Pertanyaannya, apakah sistem keuangan kita akan mengikuti langkah mereka atau terus tertinggal?
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi dari anggota Kelompok Belajar 2 dalam mata kuliah General Banking di Universitas Indonesia membangun, Anggota : Lidya Srinita G, Muhamad Hammam Faisal H, Nursifa Aulia, Raifan Ridki Nur Fallah, Reydha Arillia, Sandrina Kaysa Brenda, Thia Nurafifah, Verlianingsih, Tegar Dwi Syafaat, Agung Permana, Ari Mahendra
Penulis:
Lidya Srinita G, Muhamad Hammam Faisal H, Nursifa Aulia, Raifan Ridki Nur Fallah, Reydha Arillia, Sandrina Kaysa Brenda, Thia Nurafifah, Verlianingsih, Tegar Dwi Syafaat, Agung Permana, Ari Mahendra
Jurusan : Manajemen
Mata Kuliah : General Banking
Universitas Indonesia Membangun (INABA)