BANDUNG,TM.ID: Wacana hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat ke permukaan, mengundang perhatian publik terutama setelah disuarakan oleh calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo.
Dalam konteks tersebut, Ganjar mendorong DPR untuk menggunakan hak angket guna menyelidiki dugaan aksi kecurangan pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Ia menilai, perlunya penggunaan hak angket oleh DPR. Ganjar menekankan bahwa DPR tidak boleh diam terhadap dugaan kecurangan yang dianggapnya telah terjadi dengan nyata.
Menurut Ganjar, langkah ini penting untuk membuka pintu transparansi dan pertanggungjawaban dalam sistem demokrasi.
“Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku penyelenggara Pemilu,” kata Ganjar dalam keterangannya, dikutip, Senin (19/02/2024).
Seiras dengan itu, rival Ganjar dalam Pilpres 2024 , Anies Baswedan, juga memberikan dukungan terhadap wacana penggunaan langkah tersebut.
Awal Hak Angket Berdiri Kembali
Dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, penggunaanya oleh DPR tidak terjadi begitu saja. Pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, manuver politik melalui DPR sangat terbatas, dan kebijakan ini tidak pernah digunakan. Semua kewenangan DPR baru dipulihkan setelah gerakan Reformasi 1998.
Untuk diketahui, hak angket merupakan instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah.
Ini merujuk dengan isu-isu yang dianggap penting, strategis, dan berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks Pemilu, fokusnya adalah dugaan pelanggaran yang mungkin terjadi selama proses pemilihan.
Tujuannya, memberikan pengawasan yang efektif oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah atau lembaga eksekutif.
Hal ini menjadi mekanisme penting untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi rakyat.
Landasan hukum penggunaannya oleh DPR diatur dalam Pasal 177 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, seperti diusulkan paling sedikit oleh 25 anggota legislatif dan lebih dari 1 fraksi, menunjukkan pentingnya dukungan lintas partai untuk inisiatif ini.
Usulan penggunaan mesti didukung oleh partai lain sehingga memenuhi syarat lebih dari 50 persen anggota dewan.
Selain itu, permohonan hak angket harus disertakan dengan dokumen berisi informasi tentang materi kebijakan pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki serta alasan pelaksanaan penyelidikan.
Proses Sidang
Proses pengajuan hak angket tidak berhenti pada permohonan saja. DPR kemudian harus menggelar sidang paripurna untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak.
Jika usulan diterima dalam rapat paripurna, DPR segera membentuk panitia terdiri dari semua unsur fraksi di DPR.
Namun, jika usulan itu ditolak, maka pengunaanya tidak dapat diajukan kembali. Proses ini memastikan bahwa penggunaan hak angket tidak sembarangan dan harus melalui pertimbangan matang dari anggota DPR.
Pengajuan hak angket juga mesti memperhitungkan jumlah anggota DPR yang mendukung, menunjukkan pentingnya konsensus di tingkat legislatif.
(Saepul/Aak)