BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Peraturan medis baru yang diterapkan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) menuai polemik. Di satu sisi, aturan ini bertujuan menjaga sportivitas dengan mencegah pemain memanfaatkan cedera palsu sebagai taktik.
Namun di sisi lain, kasus Lee Zii Jia di BWF World Tour Finals (WTF) 2024 membuktikan bahwa aturan ini bisa menjadi boomerang yang membahayakan kesehatan pemain dan menghancurkan mimpi mereka di tengah kompetisi.
Lee Zii Jia tampil penuh percaya diri di fase grup BWF World Tour Finals. Setelah menaklukkan pemain top dunia seperti Anders Antonsen dan Chou Tien Chen, ia telah mengunci tiket semifinal.
Namun, pertandingan terakhir melawan Li Shi Feng berubah menjadi mimpi buruk bagi pemain peringkat 8 dunia tersebut.
Saat unggul 13-5 di gim kedua (setelah memenangi gim pertama 22-20), Zii Jia mengalami cedera pergelangan kaki kanan.
Alih-alih mendapat perawatan segera, ia harus bertahan hingga interval pertandingan, sesuai aturan medis baru BWF.
Tanpa bantuan medis berupa semprotan dingin atau penanganan sementara, Zii Jia dipaksa menanggung rasa sakit yang akhirnya memaksanya mundur di skor 15-11.
Dengan undur dirinya Zii Jia, hasil pertandingan dibatalkan. Hal ini membuat Anders Antonsen dan Chou Tien Chen melaju ke semifinal, menghapus semua perjuangan Zii Jia dalam turnamen ini.
Aturan baru BWF melarang pemain menerima perawatan medis di tengah pertandingan. Tujuannya adalah mencegah manipulasi permainan, di mana pemain menggunakan cedera palsu untuk memecah konsentrasi lawan atau mengulur waktu. Namun, apakah aturan ini diterapkan terlalu ekstrem?
Di lapangan, pemain bukanlah mesin. Cedera bisa datang tiba-tiba, entah kram, keseleo, atau cedera otot lainnya. Menunda perawatan satu menit saja dapat memperparah kondisi dan bahkan memicu cedera jangka panjang yang berpotensi mengakhiri karier pemain.
Pakar olahraga dan bulu tangkis mulai mempertanyakan, apakah BWF lebih memprioritaskan pertunjukan dan kelancaran permainan daripada keselamatan atletnya?
“Aturan ini dibuat untuk mencegah taktik kotor, tetapi justru mengabaikan kebutuhan mendesak pemain yang benar-benar cedera. Atlet adalah jantung dari olahraga ini, bukan sekadar alat pertunjukan,” ungkap Datuk James Selvaraj, pakar bulu tangkis.
BACA JUGA: Sabar/Reza dan Fajar/Rian Terhenti di Semifinal BWF World Tour Finals 2024
Lee Zii Jia bukan satu-satunya korban aturan kontroversial ini. Kasus serupa menimpa sejumlah pemain top:
- Goh Sze Fei (Malaysia) terpaksa bermain dalam kondisi kram selama pertandingan melawan Kim Astrup-Anders Skaarup Rasmussen. Berjuang tanpa perawatan, ia hanya bisa bertahan karena keberuntungan dalam pertandingan berikutnya.
- Fajar Alfian (Indonesia), salah satu pemain ganda terbaik dunia, mengalami cedera pergelangan kaki dalam pertandingan sengit melawan Aaron Chia/Soh Wooi Yik. Tanpa perawatan langsung, Fajar harus menyelesaikan pertandingan dalam kondisi yang jauh dari optimal.
- Goh Soon Huat, yang mengalami cedera tulang rusuk, juga terpaksa bermain tanpa bantuan medis segera, membahayakan kesehatannya.
Deretan kasus ini menunjukkan bahwa aturan BWF tidak hanya berdampak pada satu pemain, melainkan menjadi masalah sistemik yang memengaruhi kesejahteraan atlet secara keseluruhan.
BWF memiliki alasan kuat di balik implementasi aturan ini dalam menjaga sportivitas. Namun, aturan ini jelas memerlukan revisi agar tidak menjadi ancaman bagi atlet. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Perawatan Terbatas di Lapangan: Izinkan perawatan singkat (seperti semprotan pendingin atau perban) di tengah pertandingan untuk memastikan pemain mendapat penanganan segera tanpa memecah ritme permainan secara signifikan.
- Evaluasi Cedera oleh Dokter Netral: Jika cedera meragukan, dokter turnamen dapat mengevaluasi pemain untuk memastikan tidak ada manipulasi pertandingan.
- Fleksibilitas untuk Cedera Akut: Cedera serius seperti keseleo atau kram harus mendapat pengecualian agar pemain bisa dipastikan sehat dan aman untuk melanjutkan pertandingan.
(Budis)