BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dikhawatirkan banyak pihak dapat menghidupkan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.
Pasalnya, RUU TNI bakal memperluas jabatan kementerian dan lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI. Lalu apa yang dimaksud dwifungsi TNI?
Pengertian Dwifungsi TNI
Dwifungsi TNI adalah konsep yang memberikan peran ganda bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu sebagai kekuatan pertahanan negara sekaligus memiliki peran dalam pemerintahan dan kehidupan sosial politik.
Konsep ini pada awalnya dikenal sebagai Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang diterapkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Dalam praktiknya, dwifungsi ABRI memungkinkan anggota militer aktif menduduki berbagai jabatan sipil, termasuk di kementerian, lembaga negara, dan pemerintahan daerah.
Konsep ini menuai kritik karena mengaburkan batas antara militer dan sipil, serta dianggap menghambat proses demokratisasi di Indonesia.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Konsep dwifungsi ABRI berawal dari gagasan Jenderal Abdul Haris Nasution pada era 1950-an, yang dikenal sebagai konsep Jalan Tengah. Ia mengusulkan agar militer tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga berkontribusi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Pada masa Orde Baru, konsep ini semakin menguat dan dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Akibatnya, banyak anggota ABRI yang menduduki posisi strategis di pemerintahan, termasuk sebagai menteri, gubernur, hingga anggota legislatif.
Hal ini memperkuat kontrol militer terhadap jalannya pemerintahan dan mengurangi peran sipil dalam pengambilan keputusan negara.
Penerapan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru
Penerapan dwifungsi ABRI mencapai puncaknya pada era 1990-an. Banyak perwira aktif yang menjabat sebagai pejabat sipil, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dampaknya, sistem pemerintahan menjadi tidak transparan, dan kekuasaan militer semakin dominan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.
Selain menduduki jabatan eksekutif dan legislatif, perwira militer juga banyak ditempatkan di partai politik seperti Golkar. Hal ini semakin memperkuat pengaruh militer dalam mengendalikan kebijakan negara.
Akibatnya, kebijakan pemerintah cenderung berpihak pada stabilitas politik dan keamanan, namun mengorbankan demokrasi dan hak asasi manusia.
Reformasi 1998 dan Penghapusan Dwifungsi ABRI
Gerakan Reformasi 1998 membawa perubahan besar dalam sistem politik Indonesia. Salah satu tuntutan utama reformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan peran militer dari urusan sipil.
Tuntutan ini akhirnya diwujudkan melalui berbagai kebijakan, termasuk pemisahan TNI dan Polri pada tahun 1999 serta pembatasan peran militer dalam politik.
Melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, peran TNI dikembalikan sebagai alat pertahanan negara, sementara urusan keamanan dalam negeri sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri.
UU ini juga membatasi jabatan sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI aktif, yaitu hanya di 10 kementerian/lembaga tertentu.
BACA JUGA:
RUU TNI: Prajurit Aktif Bisa Isi Jabatan di 16 Lembaga
RUU TNI Berpeluang Duduki Otoritas Sipil, Panglima: Tugas Pokok!
Berdasarkan draf RUU TNI, beberapa tambahan kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh anggota TNI aktif meliputi:
- Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Keamanan Laut
- Kejaksaan Agung
- Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP)
- Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam)
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
(Kaje/Usk)