BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Vokalis NOAH, Ariel, turut menanggapi perdebatan seputar direct license dalam industri musik Indonesia.
Menurutnya, direct licensing muncul karena ketidakpuasan para pencipta lagu terhadap sistem yang diterapkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), termasuk masalah transparansi laporan dan mekanisme yang dinilai masih kurang efektif.
“Direct licensing itu sebenarnya hak individu, hanya saja ini masih kurang umum di Indonesia,” ujar Ariel melalui unggahan Instagram, Minggu (23/3/2025).
Ia juga menyoroti bahwa sistem ini belum memiliki dasar hukum yang jelas dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Belum Ada Regulasi dan Pajak yang Jelas
Ariel NOAH menekankan bahwa meskipun direct license adalah opsi yang sah bagi pencipta lagu, mekanismenya belum diatur secara jelas dalam hukum.
“Output-nya belum diuji, termasuk soal tarif serta implikasi pajaknya. Padahal, royalti itu dikenai pajak,” tambahnya.
Menurutnya, pengaturan tentang direct licensing harus disepakati sejak awal antara penyanyi dan pencipta lagu, bukan secara mendadak setelah lagu menjadi populer.
Ia menilai, apabila negosiasi dilakukan di tengah jalan, pencipta lagu bisa memiliki kendali penuh yang berpotensi merugikan penyanyi.
“Sebaiknya kesepakatan dibuat dari awal kerja sama, bukan tiba-tiba setelah lagunya populer. Jika negosiasi dilakukan di tengah-tengah, pencipta lagu memiliki kuasa penuh, yang bisa mengarah pada negosiasi sepihak,” jelasnya.
BACA JUGA:
Debat Panas! Ahmad Dhani Sindir Ariel NOAH Terkait Royalti Musik
Lagu Ariel NOAH ‘Yang Terdalam’ Terinspirasi Melly Mono? Ini Faktanya!
Pembayaran Royalti
Sebagai anggota Vibrasi Suara Indonesia (VISI), Ariel juga mengkritisi skema pembayaran royalti yang dibebankan kepada penyanyi. Ia mengingatkan bahwa sistem yang selama ini berjalan adalah pembayaran royalti dilakukan oleh penyelenggara acara ke LMK, lalu diteruskan kepada pencipta lagu.
“Selama bertahun-tahun, yang membayar royalti itu penyelenggara acara, bukan penyanyi. Sistem ini juga yang umumnya diterapkan di industri musik global,” tegas Ariel.
Sebagai pencipta lagu, Ariel mengaku belum siap mengelola direct licensing secara mandiri.
“Saya pribadi merasa tidak mampu menjalankan direct license sendiri. Saya masih membutuhkan LMK yang kredibel dan transparan untuk mengelola hak saya,” ujarnya.
Ariel menegaskan bahwa pelaku industri musik tidak memiliki wewenang untuk menetapkan aturan terkait direct licensing.
Ia meminta agar pemerintah segera memberikan kejelasan, terutama menjelang revisi Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014.
“Kami bukan pihak yang berwenang membuat peraturan. Jadi, pemerintah harus menjelaskan bagaimana sistem ini seharusnya berjalan,” ungkap Ariel.
Ia berharap revisi undang-undang nanti melibatkan semua pihak agar solusi yang dihasilkan adil dan tidak merugikan siapa pun.
“Mudah-mudahan ada perubahan yang baik dan keputusan yang menguntungkan semua pihak,” tambahnya.
Sebagai penutup, Ariel meminta agar pemerintah segera memberikan kepastian regulasi sehingga para pelaku industri musik tidak bingung dan bisa menjalankan profesinya tanpa ketakutan.
“Saya pikir seharusnya ada kejelasan dari pihak berwenang dalam masa status quo ini. Jangan sampai para musisi kebingungan atau bahkan merasa diperlakukan tidak adil hanya karena ingin menyanyikan sebuah lagu ciptaan orang lain,” pungkasnya.
(Hafidah Rismayanti/Usk)