BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Pepohonan hijau di desa Labuhan Ratu IX, Lampung seolah menjadi surga bagi burung liar yang bebas beterbangan. Namun, kelestarian pemandangan ini terancam jika habitat mereka tidak dijaga sejak dini.
Menurut data Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), awal 2024 mencatat bahwa Indonesia memiliki 1.836 spesies burung, dengan 542 di antaranya merupakan spesies endemik.
Di Sumatera sendiri, terdapat 56 spesies burung endemik yang keberadaannya semakin terancam akibat kerusakan habitat dan maraknya perburuan liar.
Laporan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan BirdLife International menunjukkan bahwa status keterancaman 62 spesies burung di Indonesia mengalami peningkatan.
Delapan spesies kini masuk kategori keterancaman tinggi, tiga spesies masuk kategori rentan, dan satu spesies bahkan dikategorikan sebagai spesies genting. Secara keseluruhan, pada 2022, tercatat 177 spesies burung di Indonesia terancam punah.
Ancaman utama datang dari perambahan hutan dan perdagangan ilegal burung liar. Hal ini terbukti dari berbagai kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan oleh Karantina Lampung, termasuk upaya penyelundupan 982 ekor burung liar ke Bekasi pada awal Februari 2025.
Desa Labuhan Ratu IX
Di tengah ancaman kepunahan, Desa Labuhan Ratu IX justru menghadirkan solusi kreatif dengan mengembangkan konsep konservasi burung berbasis masyarakat. Desa ini terletak di sekitar Taman Nasional Way Kambas, yang menjadi rumah bagi 312 spesies burung.
Warga desa berinisiatif menjalankan program konservasi unik, seperti adopsi sarang burung liar dan adopsi pakan burung liar, guna meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus menarik perhatian wisatawan untuk terlibat dalam pelestarian avifauna.
Program Adopsi Sarang Burung
Program adopsi sarang memungkinkan masyarakat luas menjadi “orang tua asuh” bagi burung liar. Caranya, warga yang menemukan sarang burung di ladang atau pekarangan rumah akan melaporkannya ke petugas desa.
Setelah diidentifikasi dan dikategorikan, sarang tersebut akan ditawarkan kepada calon adopter melalui media sosial.
Adopter yang berminat akan mendonasikan sejumlah dana untuk menjaga sarang hingga telur menetas dan anak burung siap terbang bebas.
Dana yang terkumpul kemudian dialokasikan untuk penemu sarang, pemilik lahan, pendapatan desa, serta tim konservasi yang bertugas mengawasi perkembangan sarang tersebut.
Selain adopsi sarang, desa ini juga menggagas program adopsi pakan burung. Dengan konsep serupa, para adopter menyumbangkan dana yang digunakan untuk menanam pohon penghasil pakan burung, seperti salam, pepaya, dan pisang, di lahan-lahan yang tidak terpakai.
Wisatawan yang berkunjung juga diajak untuk berpartisipasi dalam penanaman ini. Sehingga burung liar tetap memiliki sumber makanan alami di desa tersebut.
BACA JUGA:
Fantastis! Bupati Bandung Anggarkan Rp 1 Triliun untuk Bantuan Keuangan Desa 2025
Jeju Air Diduga Tabrakan dengan Burung, Saksi Mata Mendengar Ledakan Disertai Api di Mesin Jet
Masa Depan Avitourism di Labuhan Ratu IX
Desa Labuhan Ratu IX kini bergerak menuju kampung ramah burung pertama di Sumatera dengan mengembangkan wisata pengamatan burung atau avitourism.
Dengan semakin banyak spesies burung yang dapat diamati, desa ini berpotensi menjadi destinasi utama bagi wisatawan pencinta alam.
Keberhasilan program konservasi ini diharapkan mendapat dukungan dari pemerintah desa melalui regulasi resmi. Seperti Peraturan Desa tentang Konservasi Burung, yang dapat memperkuat aspek hukum pelestarian satwa liar di daerah ini.
Dengan keterlibatan masyarakat dan dukungan berbagai pihak. Desa Labuhan Ratu IX bukan hanya menjadi tempat bagi burung-burung liar untuk berkembang biak. Tetapi juga menjadi contoh bagaimana konservasi bisa berjalan berdampingan dengan pengembangan ekowisata yang berkelanjutan.
Masa depan avitourism pun semakin cerah, membawa manfaat ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem alam.
(Hafidah Rismayanti/Usk)