JAKARTA, TM.ID: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, bahwa gerhana Matahari Hibrida diprediksi akan nampak pada 20 April 2023 mendatang.
Hadirnya fenomena itu, BRIN berharap dijadikan untuk sarana penelitian oleh berbagai disiplin ilmu terkait.
Kepala Pusat Riset Antariksa BRIN, Emanuel Sungging mengatakan, peneliti dapat meneliti apakah gerhana matahari hibrida berpengaruh terhadap perilaku makhluk hidup. Sedangkan peneliti ilmu sosial bisa melakukan studi etnoastronomis, terkait budaya yang timbul akibat adanya gerhana.
BACA JUGA: Lebaran 2023, Polres Pelabuhan Belawan Terjunkan 300 Personel
“Adanya momen ini membawa kesempatan untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin,” tutur Sungging dalam Gelar Wicara Gerhana Matahari Hibrida 2023, dikutip dari situs resmi BRIN.
Fenomena ini akan terjadi, jika gerhana matahari total dan gerhana matahari cincin terjadi di suatu daerah dalam waktu bersamaan.
Diperkirakan, gerhana Matahari Hibrida terjadi selama 3 jam 5 menit jika diamati dari Biak. Secara pengamatan, jika dilakukan di Jakarta durasi hanya berlangsung 2 jam 37 menit dengan persentase tertutupnya matahari sebesar 39 persen.
BRIN sendiri akan mengerahkan peneliti yang akan melakukan pengamatan dari Biak Numfor yang posisinya tepat dalam lintasan gerhana matahari.
BRIN akan memfokuskan penelitian pada tiga hal yaitu riset korona, dampak terhadap ionosfer, dan perubahan kecerlangan.
“Ionosfer menjadi penting karena sangat berdampak pada akurasi GPS dan juga terkait komunikasi maritim yang menggunakan kanal HF (High Frequency). Kami akan melihat pada saat terjadinya gerhana ini ada gangguan atau tidak,” kata Sungging menjelaskan.
Dalam kesempatan yang sama, Premana W. Premadi selaku ahli astronomi dari ITB mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh melihat fenomena tersebut dengan mata telanjang.
“Apalagi jika menggunakan peranti optis seperti binokuler atau teleskop, harus disertai dengan filter khusus matahari (solar filter). Pengamatan tanpa filter matahari dapat membuat gangguan kesehatan mata secara serius, bahkan pada taraf tertentu dapat menyebabkan kebutaan,” ujar Premadi.
Pria yang sempat menjabat menjadi Kepala Observatorium Bosscha ITB ini mengatakan, bahwa masyarakat tidak boleh melihat fenomena tersebut dengan mata telanjang.
“Apalagi jika menggunakan peranti optis seperti binokuler atau teleskop, harus disertai dengan filter khusus matahari (solar filter). Pengamatan tanpa filter matahari dapat membuat gangguan kesehatan mata secara serius, bahkan pada taraf tertentu dapat menyebabkan kebutaan,” ujar Premadi.
Begiupun dengan Premadi, pihaknya akan melakukan pengamatan gerhana matahari hibrida dari laut. Hal tersebut lantaran ada kerja sama yang terjalin dengan Pusat Hidro-oseanografi TNI AL (Pushidrosal).
Perwakilan Pushidrosal, Kolonel Laut Priyo Dwi Saputro mengatakan, pihaknya tertarik untuk melakukan melihat perubahan suara yang dihasilkan oleh biota dan mamalia laut selama gerhana matahari hibrida.
AL yang bergantung pada komunikasi HF, bagi Pushidrosal sangatlah penting untuk turun melihat dampak fenomena terhadap ionosfer.
BACA JUGA: Unik, Fenomena Alam Ini Wajib Kamu Ketahui!