BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Suara riuh kritik terdengar seiring mencuatnya rencana pemerintah membuka 20 juta hektar hutan demi mendukung program swasembada pangan dan energi atau dikenal sebagai “Food Estate”.
Inisiatif ini digagas oleh Kementerian Kehutanan di bawah arahan Menteri Raja Juli. Akibatnya memantik respons keras dari berbagai kalangan.
Direktur Eksekutif LSM Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI), Syamsir Anchi mengkritik rencana tersebut.
“Ini sangat mengerikan, dan bunuh diri!” kata Anchi, pada Selasa (7/01/2025).
Anchi memandang langkah ini bukan hanya gegabah, tetapi juga berisiko tinggi terhadap kelangsungan lingkungan hidup di Indonesia.
Dampak Mengerikan
Menurut Anchi, membuka hutan seluas 20 juta hektar sama saja melawan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Hutan tropis kita memiliki peran vital dalam menyerap karbon dioksida dan menjaga keseimbangan iklim global,” jelasnya.
Ironisnya, langkah ini berlawanan dengan target Indonesia untuk menurunkan emisi hingga 41% pada tahun 2030 sesuai Perjanjian Paris.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa hutan bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga tempat hidup keanekaragaman hayati dan masyarakat adat.
“Hilangnya ekosistem hutan akan menimbulkan krisis sosial dan lingkungan yang luas,” ujarnya.
Anchi menggarisbawahi perlunya melibatkan akademisi, peneliti, ahli ekologi, dan organisasi masyarakat untuk mengkaji ulang kebijakan ini.
Pelajaran dari masa lalu
Sejarah mencatat, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan tanpa perlu menebang hutan secara besar-besaran. Pada 1984, revolusi hijau yang diperkenalkan pemerintah membawa Indonesia diakui dunia melalui FAO sebagai negara yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
Strategi saat itu meliputi penerapan teknologi modern, varietas padi unggul seperti IR36 dan IR64, program BIMAS yang memberi pelatihan serta subsidi pada petani, hingga pembangunan infrastruktur pertanian.
Kebijakan harga pangan yang stabil melalui Bulog juga menjadi kunci keberhasilan.
“Seharusnya kita belajar dari keberhasilan masa lalu ini. Pemerintah bisa mencapai swasembada pangan tanpa perlu mengorbankan hutan,” tegas Anchi, yang juga alumni sejarah Unhas angkatan 1993.
Reforestasi Bukan Deforestasi
Anchi menegaskan pentingnya reforestasi, bukan deforestasi. Menanam kembali hutan yang rusak atau gundul jauh lebih relevan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060.
“Kebijakan pembukaan hutan justru akan menyulitkan kita mencapai target itu dan merusak reputasi Indonesia di mata dunia,” tambahnya.
Tak hanya itu, deforestasi skala besar juga jadi pemicu bencana ekologis. Banjir yang tak terkendali, hilangnya habitat satwa liar, dan konflik sosial akibat gesernya masyarakat adat hanyalah sebagian kecil dari dampak negatif yang mengintai.
Untuk mewujudkan swasembada pangan dan energi, Anchi menyarankan pemerintah mengutamakan efisiensi dan inovasi tanpa harus menebang hutan.
Teknologi pertanian presisi, optimalisasi lahan non-hutan, serta peningkatan produktivitas pertanian adalah langkah-langkah yang lebih berkelanjutan.
BACA JUGA: Logo Dikritik Mirip Pohon Sawit, Ini Penjelasan Kementerian Kehutanan
“Hutan harus tetap lestari. Jika kita merusak hutan, itu sama saja dengan menghancurkan masa depan,” pungkasnya.
Dengan melihat sejarah dan mengedepankan pendekatan yang lebih bijak, pemerintah sebaiknya mampu mencapai target tanpa mengorbankan hutan, alam, dan generasi mendatang.
(Kaje/Budis)