CIREBON, TEROPONGMEDIA.ID — Sejarah mencatat hari bersejarah bagi Cirebon, ketika wilayah ini resmi memisahkan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi.
Jejak panjang kemerdekaan ini berawal dari perjalanan spiritual dan politik Pangeran Walangsungsang, putra mahkota Pajajaran yang memilih menyebarkan Islam dan membangun peradaban baru.
Mengutip laman resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon, awal mula cerita bermula dari Kerajaan Pajajaran, kerajaan besar di Jawa Barat yang makmur di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi.
Sang raja memiliki putra bernama Pangeran Walangsungsang dari pernikahan dengan Nyai Subang Larang.
Bersama adiknya, Nyai Lara Santang, Pangeran Walangsungsang memilih meninggalkan istana untuk menimba ilmu agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama dari Persia yang bermukim di Gunung Jati.
Di bawah bimbingan Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang mendirikan permukiman baru di daerah pesisir yang awalnya bernama Caruban (artinya “campuran”), karena dihuni oleh beragam suku dan bangsa.
Permukiman ini berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Pangeran Walangsungsang, yang kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana, bahkan menunaikan ibadah haji dan mendapat gelar Haji Abdullah Iman.
Sementara itu, adiknya, Nyai Lara Santang, menikah dengan Sultan Mesir, Syarif Abdullah, dan melahirkan Syarif Hidayatullah—kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Setelah menimba ilmu di Timur Tengah, Syarif Hidayatullah kembali ke Jawa dan bergabung dengan Wali Sanga, dewan ulama penyebar Islam di Nusantara.
Pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Cirebon pertama setelah menikahi Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana.
Ia memindahkan pusat dakwah Wali Sanga ke Cirebon dan mendirikan Keraton Pakungwati sebagai simbol pemerintahan Islam yang mandiri.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka.
Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil.
Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
BACA JUGA
Sertifikat KIK Patenkan 3 Motif Batik Cirebon di Level Nasional
Proklamasi Kemerdekaan Cirebon
Titik balik terjadi pada 2 April 1482, ketika Syarif Hidayatullah secara resmi menyatakan Cirebon sebagai kesultanan merdeka, lepas dari Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon
Maklumat kemerdekaan itu tercatat dalam prasasti berangka tahun 1482 Masehi, yang kini diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Cirebon.
Kemerdekaan Cirebon bukan sekadar pemisahan politik, tapi juga awal peradaban Islam yang berdaulat di pesisir Jawa.
Warisan Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana masih terasa hingga kini. Keraton Kasepuhan dan kompleks makam Gunung Sembung menjadi saksi bisu perjuangan mereka menjadikan Cirebon sebagai pusat agama, budaya, dan pemerintahan yang mandiri.
Kini, setiap tahun, masyarakat Cirebon memperingati hari bersejarah ini dengan ragam acara budaya, dari festival sejarah hingga ziarah ke makam leluhur.
Sebuah penghormatan bagi para pendiri yang meletakkan dasar kemandirian Cirebon sejak lima abad silam.
(Aak)