BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Duck syndrome adalah istilah yang mengacu pada kondisi di mana seseorang terlihat tenang dan sukses dari luar, tetapi sebenarnya sedang berjuang keras menghadapi banyak masalah.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Universitas Stanford dan menggambarkan kondisi yang sering dialami oleh para mahasiswanya.
Istilah “sindrom bebek” ini diambil dari analogi seekor bebek yang terlihat tenang saat berenang di permukaan air, tetapi di bawah permukaan, kakinya mengayuh dengan cepat dan kacau.
Sindrom ini umumnya dialami oleh remaja dan dewasa muda yang bersekolah atau baru memulai karir.
Penyebab
Duck syndrome berawal dari masa sekolah menengah, ketika seseorang terbiasa menerima pujian dan pengakuan atas prestasinya.
Ketika mereka melanjutkan ke perguruan tinggi, tekanan untuk mempertahankan citra sukses tersebut meningkat.
Perbedaan sistem pendidikan, materi yang lebih kompleks, dan tuntutan untuk membangun jaringan pertemanan demi masa depan dapat membuat mereka kewalahan.
Namun, karena takut merusak citra diri, mereka memilih untuk tetap terlihat tenang dan berhasil di hadapan orang lain.
Pengaruh Stres dan Depresi
Tekanan untuk terus tampak baik-baik saja dapat menyebabkan stres dan depresi. Ketika seseorang terus-menerus berusaha terlihat sempurna sementara mereka sebenarnya kesulitan, hal ini menciptakan beban mental yang berat.
Beban ini bisa berujung pada berbagai masalah kesehatan mental dan fisik, termasuk insomnia, kecemasan, dan bahkan depresi. Mereka mungkin merasa sendirian dan takut untuk membuka diri, karena takut dianggap lemah atau gagal.
BACA JUGA: Perbedaan Sindrom Stockholm dan Trauma Bonding
Faktor Eksternal
Selain faktor internal, faktor eksternal seperti tekanan dari orang tua dan lingkungan sosial juga dapat memicu sindrom ini.
Orang tua yang selalu mengawasi dan mengendalikan setiap aspek kehidupan anaknya dapat menciptakan perasaan takut gagal.
Lingkungan yang selalu menuntut kesempurnaan dan kesuksesan juga dapat memperparah kondisi ini. Tekanan sosial untuk selalu terlihat sukses di media sosial juga memainkan peran penting dalam memperburuk sindrom ini.
(Kaje/Budis)