BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Piringan hitam dan kaset pita, dua medium musik yang dulu dianggap usang, kini menjelma jadi simbol kebanggaan generasi paling digital: Gen Z. Di tengah dominasi streaming, barang-barang analog itu justru meroket pamornya. Anak-anak skena memburu rilisan fisik seakan menemukan artefak yang menegaskan identitas mereka.
Fenomena ini bukan sekadar nostalgia saja, vinyl dan kaset membawa sensasi mendengar yang lebih intim dan personal. Saat jarum menyentuh alur piringan hitam atau pita kaset berputar pelan, ada romantisme yang tak bisa digantikan playlist Spotify. Rasanya seolah mendekatkan pendengar dengan musisi, menciptakan pengalaman yang lebih nyata.
Tren ini juga berkaitan erat dengan budaya pamer koleksi di media sosial. Vinyl edisi terbatas, cover art yang keren, sampai kaset dengan desain retro jadi konten visual yang memancing kagum penggemar. Bagi Gen Z, memajang rak penuh piringan hitam bukan hanya soal selera musik, melainkan pernyataan estetika.
Baca Juga:
Antara Tugas, Tagihan dan Tuntutan Demokrasi: Catatan Mahasiswa Gen Z
Generasi di Persimpangan: Mahasiswa Gen Z dan Krisis Akses Pendidikan Tinggi
Bukan kebetulan toko-toko musik independen di kota-kota besar mendadak hidup lagi. Label rekaman indie berlomba merilis album dalam format fisik, bahkan musisi baru ikut mencetak kaset meski lagunya sudah tersedia secara digital. Ini semacam perlawanan simbolis terhadap musik yang kian cepat, praktis, tapi hambar.
Kaset dan vinyl pun menjadi tiket masuk ke komunitas skena yang lebih eksklusif. Ada sensasi “gue lebih tahu” ketika memutar rilisan band skena yang tak semua orang kenal. Rilisan fisik memberi ruang untuk mengkurasi identitas, membangun citra otentik dan bahkan sudah masuk ke industri bisnis seperti coffee shop.
Di balik tren ini, ada geliat ekonomi kreatif yang tak bisa diabaikan. Penjualan vinyl global meroket hingga miliaran dolar, mencatat rekor tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Gen Z, yang dulu dicap “anak streaming,” kini justru menyelamatkan bisnis rilisan fisik dari kepunahan.
Namun, sebagian pihak menuding tren ini hanya sekadar poser. Mereka yang membeli kaset tapi tak punya turntable atau mengoleksi vinyl untuk properti foto. Kritik ini ada benarnya, tapi tak mengurangi fakta bahwa media lama ini sudah berhasil merayu generasi baru.
Yang jelas, vinyl dan kaset kini menjelma barang wajib bagi anak skena Gen Z. Mereka bukan cuma media untuk mendengar musik, melainkan simbol pencarian makna di era serba instan. Makin langka dan tak praktis, justru makin dicintai.
Tren ini mengajarkan satu hal: di dunia yang terus bergerak cepat, terkadang manusia rindu sesuatu yang lambat dan nyata. Sebuah ritual mendengar musik yang tidak bisa di lewatkan, sepotong ketenangan analog di antara bising notifikasi digital.
Penulis:
Ravly Kaeza Gumelar
Jurusan : Manajemen Bisnis Telekomunikasi Informatika(MBTI)
Universitas : Telkom University