Site icon Teropong Media

UMKM Kecil Dinilai Perlu Didukung di Tengah Maraknya Produk Kuliner Milik Influencer

SOREANG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Di Tengah menjamurnya produk makanan instan milik influencer,
pelaku UMKM seperti Ibu Eva Nia masih setia mempertahankan warung sederhana miliknya
yang tepat berada di pinggir Jalan Raya Soreang. Berjualan sejak 2022, ia tetap
menggantungkan hidup dari olahan makanan berbahan dasar tepung tapioka seperti cireng,
cibay, dan cilok.

Meski usahanya tergolong masih kecil, Ibu Eva Nia bersaing langsung di tengah maraknya
brand makanan instan yang dipromosikan oleh influencer dan viral diberbagai media sosial.
Produk-produk tersebut terkenal dengan kemasan yang menarik, pemasaran digital massif,
serta distribusi yang luas melalui toko dan e-commerce.

“Sekarang banyak orang beli yang instan karena lihat di Tiktok. Padahal di sini juga ada yang
lebih murah, dan dibuat secara dadakan,” ujar Ibu Eva Nia saat bertemu di warungnya, Sabtu
(28/6).

Warung milik Ibu Eva Nia berdiri sederhana di pinggir jalan yang ramai dilalui warga setiap
harinya. Dari tempat sederhana itulah, ia menyajikan seblak, cireng, cibay, dan cilok yang
bisa disajikan secara dadakan dan masih hangat bagi para pelanggan yang singgah di sela
aktivitas mereka.

Harga jual yang ditawarkan berkisan Rp 3.000 hingga Rp 15.000 per-porsi.
Meski tidak sebesar omzet pelaku usaha besar, Ibu Eva Nia mampu mendapatkan keuntungan
bersih sekitar Rp. 200.000 per-harinya. Uang itulah yang ia gunakan untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari dan pendidikan untuk kedua anaknya.

“Kadang iri juga lihat produk selebgram dijual di mana-mana. Tapi saya tetap jalan, karena
saya percaya masih banyak orang yang mau bantu usaha kecil seperti ini,” ujar Ibu Eva Nia.

Maraknya brand kuliner milik influencer dinilai menjadi tantangan bagi pedagang kecil yang
tidak memiliki modal besar untuk produksi massal maupun promosi yang hanya melalui story
Whats-App saja.

Sementara makanan seperti cireng dan cilok yang dulu identiknya dengan
jalan kaki lima dan warung tradisional, kini banyak dijual secara luas dengan harga yang
lebih tinggi. Kesenjangan ini tidak hanya soal modal dan strategi pemasaran, tetapi juga
menyangkut keadilan ekonomi yang ada di kondisi seperti sekarang.

Meski begitu, Ibu Eva Nia memilih tidak menyerah. Ia percaya bahwa rasa, keramahan, dan
kehangatan warung kecilnya tetap punya tempat di hati pelanggan. Ia juga berharap
masyarakat lebih bisa peduli terhadap nasib pelaku usaha kecil yang tidak punya kekuatan
pemasaran seperti pemilik brand yang namanya sudah sangat besar hingga terkenal.

“Kalau beli dari warung kecil seperti saya, uangnya langsung buat beli beras, bukan buat
bayar iklan,” ujar Ibu Eva Nia di akhir wawancara.

Produk milik influencer memang menarik dan menjanjikan kualitas, tetapi dibalik warung
yang sederhana ada kisah perjuangan yang nyata. Di tengah situasi ekonomi yang berat, memilih membeli dari pelaku usaha kecil adalah bentuk dukungan langsung untuk ketahanan
ekonomi rakyat.

(Syifa Nuramalia/Universitas Indonesia Membangun)

Exit mobile version