BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS –– Fenomena cancel culture di era digital menjadi tantangan serius bagi manajemen komunikasi krisis, khususnya dalam ruang publik media sosial yang penuh dinamika dan emosi massa. Cancelculture mengacu pada tindakan kolektif netizen dalam mencabut dukungan terhadap individu atau lembaga yang dianggap melanggar norma sosial, moral, atau politik. Artikel ini bertujuan menjelaskan secara komprehensif strategi komunikasi krisis dalam merespons cancel culture, dengan merujuk pada pendekatan teoretis dari para pakar seperti McLuhan, Castells, dan McQuail, serta studi empiris yang dilakukan oleh Altamira & Movementi(2023), Jaafar & Herna (2023), Mardeson & Mardesci (2022), serta Wempi et al. (2025). Penelitian menunjukkan bahwa respons cepat, transparansi, empati publik, serta pemanfaatan media sosial secara strategis menjadi kunci dalam mengelola krisis akibat cancel culture.
Dalam era konektivitas digital yang tinggi, citra publik dapat dibangun dan dihancurkan hanya dalam hitungan jam. Salah satu fenomena yang mencerminkan kekuatan masyarakat digital adalah cancel culture—praktik sosial di mana figur publik atau institusi “dibatalkan” secara massal karena dianggap melanggar norma sosial atau moral tertentu. Cancel culture sering dimediasi oleh media sosial, di mana opini publik dapat menyebar secara viraldan membentuk tekanan kolektif yang masif (Altamira & Movementi, 2023).
Di Indonesia, fenomena ini semakin mendapat perhatian sejak kasus-kasus seperti boikot terhadap selebritas, politisi, hingga institusi penyiaran. Maraknya cancel culture tidak hanya merusak reputasi, tetapi juga dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan, isolasi sosial, bahkan tekanan mental berat (Mardeson& Mardesci, 2022). Oleh karena itu, strategi komunikasi krisis yang adaptif dan proaktif menjadi kebutuhan mendesak.
Karakteristik Cancel Culture
Cancel culture seringkali muncul dari penyimpangan moral, komentar sensitif, atau perilaku masa lalu yang viral kembali di internet. Velasco (2020) menyebut bahwa cancel culturemerupakan evolusi modern dari praktik mempermalukan publik, seperti pada masa lalu seseorang dihukum di depan umum. Di Indonesia, menurut Altamira & Movementi (2023), cancel culturepaling sering menargetkan figur publik dari kalangan selebritas, pejabat, dan influencer. Fenomena ini diperparah oleh karakteristik media sosial yang memungkinkan siapa pun memproduksi dan mendistribusikan konten secara luas.
Wempi et al. (2025) menambahkan bahwa media sosial seperti Twitter dan Instagram menjadi medium utama untuk memobilisasi protes digital. Hashtag, meme, dan kampanye visual sering digunakan untuk menguatkan pesan pembatalan.
Dampak Cancel Culture terhadap Komunikasi Krisis
Cancel culture dapat menyebabkan:
1. Kehilangan reputasi: Individu atau lembaga kehilangan kepercayaan publik.
2. Kehilangan kontrak kerja: Banyak kasus selebritas kehilangan endorsement atau pekerjaan.
3. Stres dan depresi: Mardeson & Mardesci (2022) mencatat banyak korban cancel culture mengalami tekanan psikologis yang berat.
4. Polaritas sosial: Munculnya kubu pro dan kontra yang memperumit resolusi konflik.
5. Efek jangka panjang terhadap brand/institusi: Seperti yang terjadi pada KPI dan AICE, yang sempat diboikot massal karena kontroversi internal dan eksternal (Altamira & Movementi, 2023).
Strategi Komunikasi Krisis Menghadapi Cancel Culture
Tanggap Cepat (Fast Response)
Menurut Graciela Jaafar & Herna (2023), waktu respons adalah faktor utama dalam meredam krisis digital. Semakin lama institusi atau figur publik diam, semakin besar ruang bagi narasi negatif tumbuh. Respons harus dilakukan dalam 24 jam pertama sejak viral.
Transparansi dan Pengakuan
Mengakui kesalahan secara terbuka disertai bukti perbaikan sangat penting. Ketulusan dalam menyampaikan klarifikasi, tanpa menyalahkan pihak lain, meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini didukung oleh hasil studi Altamira & Movementi (2023) yang menyoroti pentingnya pendekatan humanis.
Menunjukkan Empati kepada Publik
Public relation harus menampilkan empati, bukan defensif. Dalam kasus cancel culture, emosi publik dominan. Maka, bahasa yang digunakan harus persuasif dan tidak arogan. McQuail (2011) menyebutkan bahwa interaktivitas media memungkinkan respons yang personal dan langsung kepada audiens.
Manajemen Konten Digital dan Hashtag
Kontrol atas narasi di media sosial menjadi aspek penting. Menurut Wempi et al. (2025), hashtag seperti #PeringatanDarurat dapat menjadi alat mobilisasi atau kontra-narasi. Manajemen reputasi digital melalui tim media sosial harus bekerja 24/7.
Kolaborasi dengan Opinion Leader
Strategi two-step flow communication (Lazarsfeld & Katz) relevan di era ini, di mana dukungan dari tokoh yang kredibel (influencer, akademisi, tokoh agama) dapat menjadi jembatan komunikasi yang efektif. Dukungan ini dapat membantu meredakan konflik di ruang publik.
Penutup
Cancel culture adalah tantangan nyata dalam era digital yang tak bisa dihindari oleh publik figur maupun institusi. Strategi komunikasi krisis yang berhasil adalah yang mampu menjawab isu dengan cepat, jujur, dan penuh empati, serta mengelola media sosial secara aktif. Selain itu, pendekatan jangka panjang berupa literasi digital dan kolaborasi dengan komunitas menjadi kunci pencegahan.
Fenomena ini bukan hanya soal pembatalan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat digital membentuk ulang hubungan antara kuasa, kepercayaan, dan kebenaran. Oleh karena itu, komunikasi yang strategis dan etis adalah investasi utama dalam menjaga reputasi di era budaya pembatalan.
(Liana Arum/Universitas Indonesia Membangun)