BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kepala Bidang Komunikasi Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI), Debora Imanuella menanggapi isu kontroversial terkait rencana pengiriman anak-anak yang kecanduan game ke barak militer.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan sejumlah kriteria siswa yang akan mengikuti pendidikan militer di barak. Salah satu kriteria yang disebutkan adalah siswa yang dinilai mengalami kecanduan bermain game.
Pernyataan tersebut langsung mendapat sorotan publik dan menimbulkan reaksi beragam dari netizen hingga kelompok pemerhati anak dan pendidikan.
PB ESI: Edukasi Publik Lebih Penting
Debora menyatakan bahwa hal ini merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbedaan antara kecanduan game dan menjadi atlet esports profesional.
“Saya pribadi setuju, bahwa ini jadi momen yang baik untuk mengedukasi masyarakat tentang perbedaan antara kecanduan (bermain) game dan menjadi atlet esports profesional. Bermain game tanpa arah dan tujuan, hanya akan membuang waktu dan bisa berdampak buruk untuk masa depan anak,” ujarnya.
Meski begitu, ia juga menjelaskan bahwa PB ESI selama ini terus berupaya melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai dunia esports. Menurutnya, menjadi atlet esports bukan hanya soal bermain game, tetapi juga tentang disiplin, strategi, dan arah karier yang jelas dalam industri digital.
“PB ESI bersama para pemangku kepentingan, terus mendorong edukasi publik, bahwa menjadi atlet esports berarti punya arah, tujuan, serta karir yang jelas di industri ini,” terangnya.
BACA JUGA:
ONIC Esports Balikkan Keadaan, Bungkam RRQ Hoshi 2-1 di MPL ID S15
Kolaborasi Epik MLBB x Naruto: Ini Cara Dapat Skin Premiumnya!
Debora juga mengakui bahwa bermain game secara berlebihan tanpa kontrol memang berisiko, apalagi jika tidak dibarengi dengan pendidikan atau pelatihan yang mendukung. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa jika diberikan arahan yang benar, anak-anak bisa tumbuh menjadi talenta digital yang potensial.
“Jika bermain game dilakukan secara berlebihan tanpa kontrol dan tidak dibarengi dengan pendidikan atau pelatihan, itu tentu berisiko. Tapi kalau diarahkan dengan benar, didampingi, dan difasilitasi, anak-anak bisa berkembang jadi talenta digital dan atlet yang berprestasi,” tutupnya.
(Haqi/Budis)